This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 18 Januari 2012

Syair, Puisi dan Budaya Bugis


Abbonga bongaki ri pangkaukeng madecengnge, aja'na rilaleng makkijae. Attongeng tongekki ridecengnge aja'na ripangkaukeng masalae

Engkaki mancaji tau masagena mabbere makkuatopa mattarima, aja' taperrisiwi asagenangetta. Malappa atuongetta, mapaccing atitta

Riyissengngi ri esso wennie, riyisseng toi riyasengnge sifa'' adele'e. Tau iyye missengngi mannessani Naisseng

Tepu madecengngi sininna sewwa''e iyye purae irencana, makkotopa eganna tepu madeceng sewwa'' iyya de'e lairencana. Sininnaro pura natoro madeceng Puang sewwae

Sewwa'' iyye purae irencana de'e nasilennereng, makkotopa sewwa'' de'e narirencana silennereng, sabbarakengngi. Jancinna puangnge tania belle''

Iyya tau madecengnge, manyamengngi, amangngi, nenniya salamai ajokkangenna

Sewwa'' elo'e ipaddibola riyanu teppeddingngenatarima akkaleng, papole madecengngi nasibawai tongeng''. Sewwa'' de'e nairita pura mannessa engkai poleakki agi'' purae napparentang puang Allah ta'ala riyalena...

Suku To Balo (KABUPATEN BARRU)



Konon, dulu ada satu keluarga yang usil mengusik dua kuda belang jantan dan betina yang sedang kawin. Atas keusilan mereka itu, dewa pun marah dan mengutuk satu keluarga itu sehingga kulit tubuh mereka menjadi belang.

Karena malu kulit tubuh mereka belang, satu keluarga itu pun memilih untuk hidup terpencil di lereng gunung, jauh dari keramaian. Mereka berkembang biak di situ, membentuk komunitas yang memiliki budaya sendiri dan bahasa sendiri, disebut bahasa bentong.

Komunitas itu kemudian disebut To Balo dalam bahasa Bugis, yang berarti orang belang.

To Balo bermukim di desa Bulo-bulo, Kecamatan Pujananting, puluhan kilometer jaraknya dari kota Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Desa Bulo-bulo berada di lereng gunung Pao (bulu Pao) yang membentang antara wilayah Kabupaten Barru dan Kabupaten Pangkep.

Ciri khas To Balo memang terletak pada kulit tubuh mereka yang belang bewarna putih. Belang itu terdapat di kaki, badan, dan di dahi. Belang di dahi cukup unik karena bebentuk segitiga menyerupai Avatar.

Secara medis, belang pada kulit tubuh To Balo bukanlah kelainan melainkan pembawaan gen. Kalau mereka kawin sesama maka keturunannya juga akan belang, tapi kalau mereka kawin bukan sesama maka keturunannya ada kemungkinan tidak belang. Dan fakta sudah membuktikan, banyak To Balo yang menikah dengan orang luar, kulit tubuh keturunanya tidak belang.

Kini, To Balo masih eksis dengan komunitas kehidupan mereka. Jumlah mereka semakin sedikit. Mereka memang punya kepercayaan bahwa jumlah satu keluarga harus terdiri hanya dari 10 orang. Kalau lebih maka akan dibunuh atau dibuang ke tempat tertentu.

To Balo mencari penghidupan dari alam di lereng gunung dengan berkebun dan menjual hasil kebunnya. Banyak dari mereka yang telah berbaur dengan orang lain melalui pernikahan

Galigo I




Mali siparappe, malilu sipakaing
Sirebba tannga tessirebba pasorong
Padaidi pada elo, sipatuo sipatakkong
Siwata menre, tessirui no.

(Kita saling mengulurkan tangan ketika hanyut,
Kita saling menghidupkan karena kita seia sekata
Saling mengangkat dan tak saling menjatuhkan)
Berbeda pendapat, tetapi tidak menyebabkan adu kekuatan)

sumber: Mashadi Said (Universitas Gunadarma, Jakarta, Indonesia)

Lontara


Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).


Konsonan

Buginese consonants.png

VOKAL

Buginese vowels.png

Jumat, 13 Januari 2012

FESTIVAL KERATON


Festival Keraton 2012 Digelar di Buton

Palembang, Sumsel - Kesultanan Buton, Sulawesi Tenggara akhirnya terpilih menjadi tuan rumah Festival Keraton Nusantara VIII tahun 2012, kata Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Informasi Keraton Nusantara, Gusti Kanjeng Ratu Wandan Sari Kusmurtia, di Palembang, Minggu (28/11).

Dikatakannya, setelah terjadi kemufakatan raja dan sultan serta ketua lembaga adat, akhirnya Kesultanan Buton terpilih sebagai tuan rumah Festival Keraton Nusantara VIII tahun 2012.

Festival merupakan kegiatan rutin dua tahun sekali sebagai ajang silaturahmi raja dan sultan nusantara, katanya.

Menurut dia, berbagai kegiatan menjadi agenda rutin festival, seperti kirab agung, pagelaran seni dan musyawarah besar. Semua kegiatan diharapkan mampu menjadi ajang mempromosikan adat dan budaya kerajaan dan kesultanan nusantara, tambahnya.

Ia mengatakan, setelah mendapat persetujuan forum yang terdiri atas 155 utusan kesultanan, kerajaan dan lembaga adat maka disepakati Buton menjadi tuan rumah. Karenanya pataka langsung diserahkan Sultan Palembang Darussalam setelah sukses menyelenggarkan FKN VII, katanya.

Pantauan saat penentuan tuan rumah FKN VIII, sempat terjadi perbedaan pendapat. Awalnya sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan saat FKN VI di Gowa Sulawesi Selatan lalu, disepakati setelah dua kali festival di luar Pulau Jawa yang menjadi tuan rumah kesultanan di Jawa.

Kesultanan Kasepuhan Cirebon menyatakan siap menjadi tuan rumah, namun di tengah penentuan pilihan terjadi protes dari sejumlah raja dan sultan yang akhirnya menentukan Buton.

Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin mengatakan pemilihan Kesultanan Buton tersebut merupakan hasil pemilihan demokratis. Dengan disepakati tuan rumah festival keraton tahun 2012 itu secara otomatis kegiatan tersebut berakhir, katanya.

Iskandar menambahkan, pihaknya menilai kegiatan FKN VII yang berlangsung 26-28 November berjalan sukses. "Kami berharap kegiatan ini mampu mempererat silaturahim antar raja dan sultan, sehingga menjadi satu kesatuan serta mendukung penuh negara Indonesia," tambahnya. (Ant/OL-2)

Pagelaran La Galigo di New York


Monumen Toddo'puli di Kota Palopo

Pagelaran Seni Bugis ‘I La Galigo’ Disambut Luar Biasa di New York
Kapanlagi.com - Hari pertama penampilan pertunjukan kesenian dari Bugis ‘I La Galigo’ di New York, Rabu malam mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat yang memadati Gedung Teater utama kompleks Lincoln Center.Sekitar 3000 penonton memenuhi kursi-kursi New York State Theater dan harus antri cukup panjang untuk membeli karcis seharga US$ 25 hingga US$ 150.
Selain dari New York, banyak penonton yang datang dari berbagai kota di AS seperti Washington DC, Boston dan Philadelphia
‘I La Galigo’, suatu gabungan karya drama, tari, musik tradisional dan puisi dari epik Bugis Kuno, tampil empat kali di Lincoln Center New York pada 13-16 Juli ini.
Sebanyak 50 penari dan pemain musik asal Indonesia tampil dalam pertunjukan selama tiga jam yang disutradarai Robert Wilson tersebut.
Menurut Nigel Redden, Direktur Lincoln Center Festival, kekuatan dari ‘I La Galigo’ sehingga dinantikan banyak orang bukan hanya karena nama besar Robert Wilson, namun juga mitos dalam kisah yang diangkat dari karya sastra bugis kuno (Sureq Galigo) tersebut.
“Orang ingin melihat bagaimana epik yang sering disebut sebagai yang terpanjang di dunia tersebut diangkat dalam suatu pertunjukan teater,” kata Redden.
Pemberitaan pers di New York mengenai ‘I La Galigo’, dalam sepekan terakhir ini juga mendorong penonton yang mengetahui lebih jauh mengenai epik yang naskah aslinya hanya bisa dimengerti oleh segelintir orang tersebut.
Sebelumnya I La Galigo juga mencatat sukses dalam penampilan di Singapura, Barcelona, Lyon dan Amsterdam.
Keberhasilan ini juga ditidak lepas dari kerja sama apik antara seniman Amerika dan Indonesia, diantaranya Rhoda Grauer untuk adaptasi teks, Rahayu Supanggah sebagai pengarah musik, dan Restu Kusumaningrum sebagai koordinator artistik.
Dalam pertunjukan tersebut, Robert Wilson tampaknya ingin membawa penonton dalam kesakralan I La Galigo dengan menghadirkan seorang pemimpin spiritual asli Bugis yang menjadi penutur kisah.
Tulisan-tulisan bugis kuno dari naskah Sureq Galigo pun dipampang dalam layar tranparan sebelum pertunjukan dimulai.
Sureq Galigo berisi tentang asal usul orang Bugis yang disebutkan masih keturunan dari dewa-dewa penguasa dunia atas dan dunia bawah.
Dikisahkan bahwa Sawerigading, anak penguasa dunia atas dan dunia bawah sebagai titisan Batara Guru, memiliki saudara kembar perempuan yang cantik jelita bernama We Tenriabeng.
Sawerigading ingin mengawini We Tentriabeng namun dilarang oleh kerajaan langit. We Tenriabeng kemudian menyarankan Sawerigading untuk meminang putri China, We Cudaiq, yang masih saudara sepupunya. Berangkatlah Sawerigading ke negeri China dengan membawa berbagai mas kawin.
Namun We Cudaiq ternyata melolak uluran cinta Sawerigading yang dinilai sebagai orang dari bangsa barbar. Cinta ditolak, Sawerigading pun marah dan dengan kesaktiannya langsung memporakporandakan negeri China.
Sebelum negerinya hancur, We Cudaiq pun terpaksa menerima pinangan dan akhirnya mereka mempunyai anak yang bernama I La Galigo. Namun karena memang awalnya tidak cinta, We Cudaiq kembali menampik Sawerigading dan anaknya.
I La Galigo pun dibesarkan oleh ayahnya dan tumbuh menjadi pemuda tampan dan berbudi. Ia menjadi tokoh yang kemudian memimpin kerajaan dunia tanpa ada lagi intervesi dari dewa-dewa penguasa dunia atas dan dunia bawah. (*/erl)
————————————————————
Selasa, 12 Juli 2005 09:23
‘Sureq Galigo’, Sastra Kuno Bugis yang Harus Terus Dilestarikan
Kapanlagi.com - ‘Sureq Galigo’, karya sastra kuno Bugis dari abad 14 Masehi, merupakan salah satu kekayaan budaya yang harus terus digali sehingga makin dikenal, baik oleh masyarakat internasional maupun masyarakat Indonesia sendiri.”Ini adalah harta karun yang amat berharga dan harus dilestarikan, jangan sampai nantinya punah atau dilupakan orang,” kata Rhoda Grauer, seorang seniman dan pembuat film asal Amerika Serikat di New York, Senin.
‘Sureq Galigo’ yang dikenal sebagai epik kuno terpanjang di dunia itu kini makin dikenal di dunia melalui pertunjukkan I La Galigo nama tokoh dalam epik tersebut.
Setelah sukses di Amsterdam, Singapura, Madrid, Barcelona, Lyon dan Ravenna, I La Galigo pada 13-16 Juli ini akan tampil di Lincoln Center New York yang selama ini dikenal selektif dan hanya menggelar karya-karya ‘berkelas’.
Grauer merupakan seniman yang ikut mendalami kekayaan khasanah ‘Sureq Galigo’ tersebut dan bersama sutradara Robert Wilson mengangkatnya menjadi suatu pertunjukkan besar.
Menurut Grauer, Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus melakukan upaya agar ‘Sureq Galigo’ tidak sekedar naskah kuno yang tergeletak di museum.
Naskah ‘Sureq Galigo’ sendiri antara lain tersimpan di Museum Leiden, Belanda.
“Sekarang tidak banyak orang yang mengerti tulisan atau bahasa dari naskah ‘Sureq Galigo’, bahkan di Sulawasi Selatan sendiri,” kata Grauer yang dalam pertunjukkan I La Galigo sebagai penulis teks cerita.
Upaya menerjemahkan isi ‘Sureq Galigo’ secara lengkap perlu segera dilakukan, termasuk mencari manuskrip-manuskrip yang mungkin masih disimpan perorangan.
Selain itu perlu semacam pendidikan khusus bagi generasi muda Indonesia untuk mempelajari naskah kuno tentang asal usul orang Bugis tersebut. (*/erl)

FESTIVAL I LAGALIGO DI SINGAPURA



RATUSAN orang Indonesia “berkumpul” di Esplanade, pusat teater di pantai Singapura, Jumat dan Sabtu minggu lalu (12 dan 13 Maret). Tujuan mereka sama: menonton “I La Galigo”, sebuah teater karya Robert Wilson - nama besar dalam teater kontemporer dunia, dengan seluruh pemain dan musisi dari Indonesia.
Sureq Galigo adalah sebuah karya sastra dalam bahasa dan aksara Bugis (berbentuk syair dalam aksara lontaraq) sepanjang 6.000 halaman, yang sudah hampir dilupakan orang. Padahal, dari sudut panjangnya cerita - lebih panjang daripada Mahabarata, Ramayana, maupunOdyssey - Sureq Galigo sudah diakui sebagai naskah terpanjang di dunia. Naskahnya diduga sudah berusia lebih dari seabad, mulanya ditulis di atas lontar, berdasarkan penuturan yang terjadi secara turun-temurun selama ratusan tahun sebelumnya - diduga sejak abad ke-14.
Begitu terperincinya cerita di dalamnya, sehingga Sureq Galigo tidak hanya merupakan mitologi tentang orang Bugis, tetapi sekaligus panduan etiket sehari-hari, pedoman untuk tingkah laku luhur, tatacara adat, berbagai tata upacara, bahkan juga semacam manual arsitektur untuk membangun rumah adat Bugis. Lebih jauh lagi, suratan itu menyampaikan pandangan kritis tentang polah negatif manusia. Tafsirannya ke dalam bahasa masa kini memerlukan 12.000 halaman naskah.
Selama dua malam, teater utama (centre stage) Esplanade yang berkapasitas 1.800 tempat duduk padat oleh pengunjung. Semua karcis terjual habis sejak dua hari sebelum pertunjukan dimulai. Karcis termahal seharga Sin$100 (sekitar Rp 500 ribu) bahkan sudah habis seminggu sebelumnya. Tak heran bila karcis termurah seharga Sin$11 - yang membuat penonton di balkon tingkat empat harus menjulurkan kepala agar bisa melihat dengan jelas - pun disapu habis oleh kaum elite yang terlambat membeli karcis.
Siapa bilang Indonesia negeri merana? Di tengah berbagai krisis yang menerpa bangsa kita, ternyata budaya Indonesia masih mampu merebut hati dunia. Padahal, kebudayaan tak pernah memperoleh prioritas yang layak dalam diplomasi publik maupun anggaran belanja negara kita.
Cerita Rekaan
Lakon “I La Galigo” yang disutradarai Robert Wilson itu menggunakan cerita rekaan. Artinya, cerita yang dipentaskan itu tidak murni mengikuti naskah asli Sureq Galigo.
Rekaan atau adaptasi cerita dan penggarapan dramaturginya dilakukan Rhoda Grauer, sineas AS yang “menemukan” kawruh tentang Sureq Galigo ketika sedang membuat film tentang perahu phinisi pada 1995. Rhoda terkesima dengan kekayaan naskah itu. Karena merasa tak mampu membaca seluruh 12.000 halaman naskah, ia pun minta bantuan Drs Mohammad Salim, peneliti yang berfokus pada naskah Sureq Galigo. Dari penuturan Salim itulah Rhoda kemudian membuat cerita rekaan yang diinspirasi oleh Sureq Galigo.
Pentas yang makan waktu tiga jam tanpa jeda (aslinya bahkan empat jam!) itu terbagi atas 10 babak ditambah prolog dan epilog. Prolog yang sepanjang 20 menit terasa lamban, tetapi sungguh berhasil mempersiapkan batin para penonton untuk memasuki alam ke-bugis-an yang akan disuguhkan.
Orang-orang berjalan perlahan melintasi panggung, menggambarkan suasana kehidupan sehari-hari, ditingkah musik garapan Rahayu Supanggah, yang nyata berhasil membangun suasana dan merekat elemen-elemen folklorik Bugis. Setelah alam manusia, ditampilkan pula alam flora dan fauna dengan dukungan tata cahaya minimalis yang dahsyat.
Dalam kosmologi Sureq Galigo, alam semesta ini terbagi atas tiga bagian: alam atas, alam bawah, dan alam tengah. Alam atas dan alam bawah merupakan domainpara dewa. Sedangkan alam tengah adalah domain para raja dan kawulanya. Pada babak pertama digambarkan kesepakatan penguasa alam atas dan alam bawah untuk mengirimkan anak masing-masing guna mengisi kehidupan di alam tengah.
Patotoqe, kepala dewa alam atas, mengutus putranya, Batara Guru turun ke alam tengah. Robert Wilson menggambarkannya dengan tafsiran simplistis yang mencengangkan. Dengan kostum warna merah menyala, Batara Guru turun dari langit dengan kepala di bawah dan kaki di atas melalui tangga. Sementara itu, Guru ri Selleq, penguasa alam bawah, mengirim putrinya, We Nyiliq Timoq untuk naik ke alam tengah.
Batara Guru kemudian menikah dengan We Nyiliq Timoq. Timoq segera mengandung janin kembar: Sawerigading dan We Tenriabeng. (Catatan: Dalam nomenklatur Bugis, La di depan nama menunjukkan gender laki-laki, dan We menunjukkan gender perempuan. Nama berikutnya bisa dipakai untuk kedua jenis kelamin. Tidak heran bila mantan Menteri BUMN yang laki-laki memakai nama Tanri Abeng - mirip dengan We Tenriabeng, perempuan tokoh utama dalam epik ini).
Di dalam kandungan, kedua janin itu bercakap-cakap satu sama lain. Mereka sebenarnya tidak ingin dilahirkan, supaya bisa terus bersama-sama di dalam rahim. Di luar kandungan, para bissu (pemuka spiritual) meramal bahwa Sawerigading akan menjadi raja di alam tengah, sedangkan We Tenriabeng akan menjadi pendeta utama di alam atas. Mereka juga meramal Sawerigading akan jatuh cinta pada saudara kembarnya, dan inses (perkawinan sedarah) akan menghancurkan kerajaan.
Karena itu, setelah dilahirkan, We Tenriabeng disembunyikan di keputren rahasia. Ketika Sawerigading telah dewasa, Batara Guru mengirimnya menjelajah negeri-negeri jauh dengan kapal agar ia tak bertemu adik kembarnya yang dipingit. Tetapi, karena pelayaran itu mencapai Pulau Kematian, Sawerigading menyudahi ekspedisinya dan kembali ke keraton. Ketika itulah ia bertemu dengan gadis cantik tiada tara yang ternyata adalah adik kembarnya sendiri.
Permohonan Sawerigading untuk menikahi adiknya tentulah ditolak mentah-mentah oleh Batara Guru. Akhirnya, dengan kekuatan spiritualnya, We Tenriabeng yang mampu melihat ke masa depan menyuruh Sawerigading berlayar ke Negeri Cina, karena di sanalah jodohnya menunggu. Dengan berat hati Sawerigading mengikuti permintaan itu. Kapalnya dibuat dari batang pohon Welenrennge, sebuah pohon mistis yang ada gambarnya dalam naskah asli Sureq Galigo.
Bingkai Teknologi
Tontonan panjang itu menjadi mudah dipahami penonton karena narasi tidak hanya dilantunkan oleh seorang bissuyang selama tiga jam terus berada di sudut depan panggung sebagaimana laiknya seorang dalang, melainkan juga ditampilkan dalam tulisan berbahasa Inggris yang diproyeksikan ke layar hitam. Hal itu sangat memudahkan penonton memahami langsung episode yang sedang dihadirkan.
Di Negeri Cina, Sawerigading bertemu dengan We Cudaiq, putri raja, yang kecantikannya bahkan melebihi We Tenriabeng. Tetapi, karena kesalahpahaman, We Cudaiq menampik cinta Sawerigading. Padahal, ia sudah telanjur mengandung. Jabang bayi itulah yang terlahir sebagai I La Galigo. We Cudaiq mencampakkan bayi itu, yang kemudian dipelihara oleh Sawerigading.
We Cudaiq menyesali perbuatannya ketika dalam sebuah acara sabung ayam di istana, ia melihat seorang remaja tampan dan gagah disertai ayahnya yang juga tampan dan gagah. We Cudaiq kemudian meminta Sawerigading dan I La Galigo kembali ke istana.
Tetapi, itu bukanlah happy end dari kisah ini. Pada epilog, I La Galigo berkisah, Sawerigading yang tak mampu menanggung rindunya pada We Tenriabeng kemudian melanggar sumpahnya dan kembali ke Keraton Luwuq. Tetapi, sumpah mereka ternyata dikabulkan, yaitu agar anak perempuan Sawerigading harus menikah dengan anak laki-laki We Tenriabeng sebagai cara untuk mempersatukan cinta mereka.
Pada saat itulah Patotoqe turun ke alam tengah dengan maklumat bahwa semua keturunan langsung para dewa harus kembali ke alamnya masing-masing. Sawerigading ditunjuk sebagai penguasa alam bawah, sedang We Tenriabeng menjadi penguasa alam atas. Beberapa generasi kemudian, keturunan mereka dinikahkan, sesuai dengan sumpah mereka, dan menjadi penguasa alam tengah. Pintu gerbang menuju ke surgaloka alam atas dan alam bawah digembok. Manusia harus memikirkan nasibnya sendiri, tidak lagi terlalu banyak diintervensi para dewa.
Cerita itu dirajut dalam olah gerak teatrikal yang cerdas, tata cahaya yang memukau, tata artistik prima, diselingi humor segar yang hadir dalam gerak maupun bunyi. Sebuah sajian artistik yang dibingkai dalam kerangka teknologi - dengan pemain yang “tenggelam” dan “muncul” dari bawah panggung, atau dikerek turun dari atas.
Kenapa Tidak di Indonesia?
Judul lakon “I La Galigo” itu sendiri sebenarnya mengundang tanda tanya. I La Galigo adalah tokoh yang dalam ukuran sekarang bisa disebut busuk. Ia gemar berjudi, gemar main perempuan, ringan tangan, dan gemar berfoya-foya. Pokoknya, dugem (dunia gemerlap) adalah ciri utama kehidupan I La Galigo. Ceritanya sendiri lebih banyak menceritakan Sawerigading, ayah I La Galigo.
Agaknya diperlukan kajian lebih mendalam tentang tepat atau tidaknya judul itu. I La Galigo “hanyalah” penutur dari epik Bugis yang telah turun-temurun puluhan generasi. Karena itulah naskah aslinya berjudul Sureq Galigo (tulisan Galigo).
Namun, judul bukanlah ihwal yang dipersoalkan. Banyak pihak yang mempertanyakan, kenapa world premiere “I La Galigo” diselenggarakan di Singapura? Kenapa bukan di Jakarta, atau Makassar?
Pertama, tontonan itu memang merupakan produksi internasional. Dalam brosur tercantum pementasan itu diproduksi oleh Change Performing Arts, bekerja sama dengan Bali Purnati Center for the Arts. Volkswagen Singapura tampil sebagai sponsor utama pementasan di Esplanade, sementara Garuda Indonesia juga tampak kehadirannya sebagai salah satu sponsor. Dengan kata lain, dukungan material dari Indonesia ternyata memang kurang “meriah”. Satu bukti lagi tentang penyepelean karya seni di negeri kita.
Kedua, seperti dikhawatirkan beberapa orang Indonesia yang ditemui di Esplanade, bila world premiere dilakukan di Indonesia, siapa penontonnya dan di mana diselenggarakannya? Membeludaknya penonton di Esplanade mungkin tidak akan terjadi di Jakarta karena minat penonton yang masih rendah. Teater Tanah Airku dan Balai Sarbini juga dianggap kurang memenuhi syarat untuk menampilkan tontonan spektakuler yang memerlukan dukungan teknologi mutakhir ini. Lagi pula, dapatkah tontonan semacam itu bergaung dari Jakarta menggetarkan dunia? Jakarta belum punya cukup wibawa untuk itu.
Tampilnya “I La Galigo” di Singapura dimulai dengan sebuah “presentasi” yang dilakukan Rhoda bersama Restu Kusumaningrum (penata gerak dan koordinasi artis) dan Rahayu Supanggah (penata musik) ketika bertemu dengan Robert Wilson yang sedang berkunjung ke Bali pada akhir 2000. Pertemuan itu dilanjutkan dengan pembicaraan di markas Change Performing Arts (CPA) di dekat New York. Robert setuju menangani produksi itu, tetapi dengan syarat semua pemain dan musisinya dari pihak CPA. Tentu saja gagasan itu ditolak mentah-mentah oleh Rhoda dan Restu. “I La Galigo” tak akan mendapat restu dari leluhur Bugis bila tidak melibatkan orang Bugis.
Robert mengalah dan datang ke Makassar untuk memulai pemilihan casting. Di situlah ia “menemukan” Mak Coppong Daeng Rannu, penari sepuh tari Pakarena, yang menggetarkan hatinya. Mungkin Mak Coppong sekaliber Ibu Rasinah, penari topeng Cirebon, yang punya pesona memancar dari seluruh geraknya. Maka, harus ada peran bagi Mak Coppong dalam “I La Galigo”. Dan hadirlah ia sebagai dewi padi, Sangiang Serri.
Didampingi dengan keahlian Restu, hasil casting akhir menunjukkan adukan antara artis Bugis, Bali, Jawa, Sumatera, dan suku-suku lain dalam pentas ini. I Ketut Rina menjadi Batara Guru. Abdul Murad melakonkan Patotoqe. Kadek Tegeh Okta sebagai Sawerigading. We Tenriabeng dimainkan oleh Jusneni Fachrudin. La Galigo dimainkan oleh M Gentile Andi Lolo. Bissu diperankan olehbissu sungguhan, Puang Matoa Saidi. Di tangan Robert Wilson mereka sekarang telah menjadi artis internasional. Dan bisa!
Rahayu Supanggah juga sepenuhnya menggunakan musisi Indonesia. Di sisi lain, sekalipun kostumnya didesain Joachim Herzog, tetapi bahan berwarna vibran untuk mengaktualisasikan kostum dikerjakan BIN House. Kali ini Obin bersikap low profile, dan menampilkan Yusman Siswandi (kakak ipar) dan Airlangga Komara (anaknya).
Setelah dari Singapura, Mei nanti “I La Galigo” akan tampil di Amsterdam (Belanda), Barcelona (Spanyol), Lyon (Prancis), dan Ravenna (Italia). Rencana penampilan di New York dan Paris pun sedang diusahakan untuk dijadwal tahun depan. Beberapa pihak di Indonesia juga berusaha sekali untuk meminta “I La Galigo” tampil pada September mendatang untuk membuka acara tahunan Art Summit di Jakarta.
Ya, melalui Singapura, bukan Jakarta sayangnya, “I La Galigo” akan menggetarkan dunia.

Mappacokkong Ri Baruga, Ritual Orang Luwu


Sinar Sang Surya sangat terik ketika enam pendeta Bissu berkumpul di suatu hari di Dusun Cerekang, Luwu, Sulawesi Selatan. Bissu adalah sebutan bagi pendeta tradisional dalam masyarakat adat di Sulawesi Selatan, terutama Suku Bone dan Bugis. Dalam bahasa Bugis, Bussi berasal dari kata “Bessi” yang berarti bersih. Mereka adalah para lelaki yang berpenampilan seperti wanita, namun memiliki kekuatan gaib yang jarang dimiliki sembarang orang. Sikap kewanita-wanitaan yang mereka perlihatkan adalah suatu kesengajaan dan bagian dari tuntutan adat yang mereka yakini sesuai Kitab La Galigo. Aktivitas para Bissu yang dipimpin Puang Toa Saidi di Cerekang itu adalah bagian dari suatu prosesi besar yang tengah digelar oleh Kedatuan Luwu Raya di Tanah Bugis. Mereka sedang menyambut utusan Datu Luwu yang berniat mengambil air suci Pisimeuni dari rumah Puak Cerekang. Pada hari itu dan beberapa hari berikutnya, seluruh warga Kedatuan Luwu memang tengah mempersiapkan sebuah hajatan besar untuk mendirikan sebuah Baruga atau pendopo agung. Upacara besar ini disebut Mappacokkong Ri Baruga. Mappacokkong Ri Baruga adalah sebuah prosesi memasuki Baruga oleh Datu Luwu. Ritual ini diawali dengan pengambilan air suci Pisimeuni di Sungai Cerekang. Dalam konsep pemikiran tradisional Luwu, di Sungai Cerekang inilah konon Batara Guru pertama kali menjejakkan kakinya di bumi atau Latoge Langi`. Maka, air suci Pisimeuni menjadi syarat mutlak yang tak boleh diabaikan dalam setiap prosesi besar di Kedatuan Luwu. Pengambilan air suci harus melalui ritual yang hanya boleh dilakukan oleh para pendamping Puak Cerekang. Bahkan, Puak Cerekang yang dianggap sebagai pemimpin spiritual tak diperkenankan mengambilnya. Sebelum dibawa ke Malangke atau tempat Baruga berdiri, air suci harus disinggahkan di Wotu. Di sini Puak Macoa Bawalipu harus menguji keaslian air suci. Legalah hati rombongan utusan Datu Luwu begitu Puak Macua Bawalipu menyatakan air itu adalah air suci dari Cerekang. Sebelumnya, sejumlah Bissu menari dengan disertai unjuk kebolehan ilmu kebal yang dimilikinya, yakni menusukkan badik ke bagian tubuhnya. Mappacokkong Ri Baruga adalah tradisi lama masyarakat Suku Bugis di wilayah Kedatuan Luwu Raya. Tradisi ini hanya dilakukan oleh raja-raja Luwu saat mereka akan membangun sebuah Baruga atau pendopo agung. Kedatuan Luwu Raya adalah sebuah kerajaan kuno orang Bugis yang di masa lampau mempunyai wilayah hingga daerah Palopo dan Luwu. Kendati secara admistratif wilayah kedatuan tersebut sudah dihapuskan, keberadaannya sebagai pusat kultural orang Bugis di Luwu masih sangat kental. Masyarakat setempat masih mengakui keturunan datu atau raja sebagai pemimpin kultural yang dihormati. Tak mengherankan, ketika Kedatuan Luwu menggelar Mappacokkong Ri Baruga, masyarakat setempat menyambut dengan antusias. Sambutan luar biasa itu mengakibatkan pusat-pusat kegiatan Mappacokkong Ri Baruga menjadi ramai. Beragam atraksi kesenian dari berbagai penjuru Luwu turut menyemarakkan suasana. Namun, bagi si empunya hajat, Datu Luwu, hari-hari menjelang Mappacokkong Ri Baruga sungguh melelahkan. Soalnya, berbagai prosesi harus dijalani. Datu Luwu sekarang, yaitu Datu ke-39 adalah seorang wanita bernama lengkap Andi Luwu Opu Daengna Pattiware. Dia mewarisi jabatannya karena faktor keturunan. Kesehariannya, ia hanyalah ibu rumah tangga dan istri seorang dokter yang justru tinggal di Kalimantan. Namun, tuntutan adat membuatnya tak bisa melepaskan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang datu. Dalam rangka Mappacokkong Ri Baruga itulah, ia harus mengikuti sejumlah aturan adat. Antara lain mengikuti sekelompok perempuan sepuh yang disebut Maradika untuk berziarah ke makam Datu Pattimang dan Datu Pattiware, termasuk melakukan sejumlah prosesi lainnya. Datu Pattimang atau Datu Sulaiman adalah penyebar pertama agama Islam di Sulsel. Sedangkan Datu Pattiware adalah Datu Luwu ke-15. Pattiware adalah datu pertama di Luwu yang memeluk agama Islam. Saat berziarah, para Maradika tampak kesurupan. Sebuah pesan gaib datang, seorang Maradika tiba-tiba berlaku aneh. Di luar alam sadar, ia kesurupan dan menangis pilu. Dari mulutnya keluar cerita kesedihan tentang seorang keturunannya yang menjelma menjadi seekor buaya telah dibunuh oleh warga di sekitar Malangke. Padahal, kedatangan buaya itu untuk menyambut Sang Datu. Percaya atau tidak, pesan ini diyakini telah terjadi. Di sebuah tempat di Malangke, seekor buaya telah ditangkap dan dibunuh untuk diambil kulitnya. Kini, tinggal bangkai buaya yang tersisa dan rasa penyesalan. Untungnya, kematian sang buaya tak berdampak kepada penyelenggaraan Mappacokkong Ri Baruga. Setelah melalui serangkaian prosesi pembuka, puncak Mappacokkong Ri Baruga tiba. Sang Datu membuka jalannya prosesi dengan melakukan Ri Pattudu. Prosesi ini adalah berkeliling sebanyak tiga kali dan menginjak sebuah periuk tanah sebagai simbol keteguhan hatinya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Kewibawaannya jelas terlihat dari begitu banyak penghormatan yang diberikan. Sumpah setia dari pemimpin adat, Poang Toa, Amatoa, dan tokoh-tokoh lainnya menjadi bukti pengaruh tradisionalnya sebagai raja. Apalagi, Baruga adalah pusat kegiatan yang sangat penting dalam tradisi Luwu. Baruga adalah tempat segala macam kegiatan. Di tempat ini, raja membahas berbagai keputusan penting bagi rakyatnya. Namun lebih dari itu, Baruga adalah simbol kebersamaan antara raja dan rakyat biasa. Baruga juga melambangkan penyatuan antara dua alam, alam atas dan bawah. Alam kehidupan manusia dan alam gaib. Karena itu, Baruga menjadi begitu sakral dan penting. Ketika air suci dipercikkan ke tubuh Datu Luwu, sempurnalah Mappacokkong Ri Baruga. Secara adat, Baruga atau pendopo agung sudah boleh digunakan untuk berbagai kegiatan. Dan, untuk melengkapi prosesi ini, Sang Datu menggelar Manre Saperra atau makan bersama. Di atas kain putih yang dibentangkan sepanjang satu kilometer, seluruh warga menikmati berbagai makanan yang disediakan Sang Datu. Beberapa warga ikut berpartisipasi dengan membawa makanan untuk saling ditukarkan. Manre Saperra sekaligus dimaksudkan sebagai pembayar nazar yang diucapkan Datu Luwu, puluhan tahun silam. Saat itu, Datu Luwu berjanji memberi makan kepada rakyatnya. Ini bila wilayahnya sudah merdeka dari tangan penjajah. Kini, setelah puluhan tahun merdeka dan datu sudah silih-berganti, nazar itu baru bisa diwujudkan.(ANS/Roy Chudin Muchlis dan Bambang Triono)


Buku : MENGGALI SEJARAH DAN MASUKNYA ISLAM DI LUWU


Masjid Jami' Palopo

Judul Buku : Kerajaan Luwu (Catatan Tentang Sawerigading, Sistem Pemerintahan dan Masuknya Islam)
Penulis : Siodja Dg Mallondjo
Terbit : April 2004
Penerbit : Komunitas Kampung Sawerigading (KAMPUS) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Palopo
Tebal : XX + 152 halaman

MENGGALI SEJARAH DAN MASUKNYA ISLAM DI LUWU
Bersentuhan dengan sejarah Sulawesi Selatan, maka kita tidak bisa lepas dari kisah kerajaan Luwu. Kerajaan inilah yang sampai saat ini diyakini sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia Timur. Bahkan kerajaan inilah yang merupakan nenek moyang atau cikal bakal orang-orang Bugis. Secara mitologi, dalam Sureq Galigo diinformasikan bahwa keberadaan manusia pertama dalam wilayah kesadaran manusia Bugis diturunkan di Ale Luwu. Dialah
Batara Guru atau La Tongeq Langiq. Ia diturunkan untuk menyemarakkan Ale Kawaq (Bumi).

Buku ini akan banyak memberikan informasi mengenai Kerajaan Luwu. Dengan sistematika penulisan ringkas dan gamblang, menjadikan ia baik dikonsumsi oleh mereka yang merupakan pemula dalam mengenal sejarah Sulawesi Selatan, khususnya internal daerah Luwu masa dulu.
Melalui buku ini, kita bisa mendapatkan pemahaman-pemahaman awal mengenai Luwu, baik sistem pemerintahannya maupun masuk dan perkembangan Islam ke daerah tersebut. Untuk memulai perkenalan dengan kerajaan Luwu, buku ini diawali dengan memperkenalkan Sawerigading. Nama Sawerigading sampai saat ini tetap membekas dalam ingatan kultural masyarakat, bukan hanya di Luwu, tetapi juga di berbagai daerah di Nusantara ini. Sosoknya dipercaya sebagai keturunan dewa yang memiliki kemampuan di luar batas rasionalitas manusia. Ia adalah keturunan langsung dari Batara Lattu, ayahnya, dan Batara Guru sebagai kakeknya. Namun sayang, ia tidak pernah menjabat Pajung dan Datu Luwu, sebagaimana bapak dan kakeknya. Ini dikarenakan pengasingan yang dialaminya karena melanggar sumpahnya sendiri.
Perkawinannya dengan I We Cudai menghasilkan tiga orang keturunan (dua orang perempuan dan seorang laki-laki) yaitu Simpurusiang, We Tenri Dio dan I La Galigo. Ia pun diceritakan mempunyai beberapa orang istri, sebab ketika ia mengembara dan melihat seorang wanita yang menawan hatinya, maka ia pun berusaha mempersuntingnya. Nama anaknya yang ketiga, I la Galigo kemudian diabadikan dalam Sureq Galigo. Galigo sendiri dikisahkan sebagai seorang pemuda yang sakti tetapi nakal.
Sebagian masyarakat percaya bahwa Sawerigading adalah seorang Nabi, bukan Rasul. Kemampuan dan kesaktian yang dimilikinya bisa dikategorikan sebagai mu’jizat, layaknya Rasul dan Nabi yang dikisahkan dalam al-Qur’an. Hasratnya yang sangat untuk mencari tahu kekuatan Maha Dahsyat diluar dirinya –jika tidak ingin dikatakan Tuhan—hampir sama dengan kejadian yang dialami beberapa utusan Allah S.W.T.
Setelah bertanya pada orang tua dan kakek-kakeknya, akhirnya dengan cara mappinangrakka (duduk dengan melipat kedua kaki sambil memejamkan kedua mata) ia melakukan munajat.
Sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan –bahkan Indonesia Timur–, darinya bisa kita gali konsep tata pemerintahan. Konon sejak Batara Guru diturunkan di Ale Luwu, sejak itu pula konsep pemerintahan disusun. Konsep tersebut senantiasa berubah demi merespon situasi zaman yang juga setiap saat mengalami perubahan.

Mulai dari Pajung / Datu I hingga yang terakhir diangkat dengan memenuhi syarat : berakal sehat, tidak cacat anggota tubuhnya, anak mattola massungeng dan telah berkeluarga.
Penting untuk diketahui juga bahwa istilah Pajung dan Datu menyimpan perbedaan. Meskipun keduanya memiliki substansi yang sama yaitu sebagai kepala pemerintahan, namun bagi seorang Pajung mutlak diberi gelar Datu. Tidak demikian dengan seorang Datu, ia belum tentu seorang Pajung. Untuk menjadi Pajung, seorang Datu harus menjalani proses puasa makanan pokok (hanya makan buah-buahan) , tidur dan menghabiskan waktu siang hari di sebuah lapangan khusus tanpa ada tempat bernaung dari panas dan hujan. Setelah berhasil menjalani proses ini, seorang Datu baru pantas diberi gelar Pajung.

Dalam buku ini pula dipaparkan secara singkat sejarah Pajung/Datu Luwu I hingga Pajung/Datu Luwu XXXVI yaitu A. Djemma. Selain itu, diungkapkan pula konsep tata pemerintahan yang berlaku di daerah Luwu. Kenyataan membuktikan bahwa konsep yang berlaku zaman dulu telah begitu ideal dan apik untuk menjamin eksistensi rakyat setempat. Seorang Pajung dan Datu dilambangkan sebagai naungan masyarakat terhadap kondisi panas, hujan bahkan jaminan
perlindungan , kemanan, kesejahteraan rakyat.

Dalam sejarah pemerintahan kerajaan Luwu, ada beberapa peristiwa yang memperlihatkan betapa ketatnya hukum berlaku. Hukum tersebut berlaku pada setiap lapisan masyarakat, mulai dari pemegang tampuk kekuasaan hingga masyarakat akar rumput. Sebut saja pengasingan yang dialami Sawerigading karena melanggar sumpahnya sendiri, atau hukuman mati yang ditimpakan terhadap Petta Toniaga karena melanggar hukum adat istiadat dan masih tersisa kisah lain yang sangat baik untuk dijadikan cermin kehidupan saat ini. Seutuhnya
mengenai tata pemerintahan ini bisa kita baca di Bab III buku ini.

Setelah mengangkat masalah pemerintahan, gambaran dasar mengenai sistem kepercayaan meneruskan perkenalan kita dengan Luwu. Dalam Kitab Galigo jilid 25, termaktub pernyataan Sawerigading :
Ulawengga ri Nabie, Salakawa ri Malaikae, dan intangnga ri Allah Taala. Meskipun belum jelas agama apa yang dianutnya, tetapi pernyataan di atas setidaknya memberikan sekilas ilustrasi bahwa nilai keTuhanan telah ada sejak zaman Sawerigading, bahkan sejak bapak dan kakeknya.
Secara resmi, agama Islam masuk ke daerah Luwu pada tahun 1013 H/1593 M melalui daerah Bua. Bermula dari mimpi yang dilami oleh Madika Bua –pemimpin daerah Bua– , ketika ia menyaksikan tiga buah matahari menyinari daerah Bua. Rupanya ini adalah pertanda datangnya tiga orang Datuk yang nantinya menyebarkan Islam. Mereka adalah Datuk Sulaeman (bergelar Datuk Pattimang), Abdul Makmur Khatib Tunggal (Datuk Ri Bandang), dan Abdul Jawal Khatib Bungsu (Datuk Di Tiro). Syiar Islam mereka lakukan dengan cara yang sangat menghormati adat istiadat setempat, dialogis (singkrume), serta tanpa intimidasi.
Karena daerah Bua merupakan tempat pertama kali Islam disebarkan di daerah Luwu, maka masyarakat setempatlah yang pertama kali memeluk Islam. Setelah sempurna penyebaran Islam di daerah ini, Madika Bua kemudian mengajak ketiga Datuk tersebut menghadap
Pajung/Datu Luwu yang saat itu dipegang oleh Pati Arase Dg Parabung. Dengan menempuh cara yang sama, akhirnya Pati Arase selaku Datu Luwu menerima Islam dan memerintahkan rakyatnya juga untuk memeluk Islam. Peristiwa ini terjadi pada hari jum’at 15 Ramadhan 1013/1593 M.

Sekelumit masalah Daerah Luwu akan kita dapatkan melaui penuturan Siodja Daeng Mallondjo. Usianya yang renta ternyata tidak menyurutkan keinginannya meregenerasikan sejarah. Sebuah kesadaran akan kearifan budaya masa lalu adalah spirit tersendiri yang dipegangnya untuk mempersembahakan buku ini, meski dalam performance yang sangat bersahaja. Bagaimana kelanjutan sejarah Luwu ? Bagaimana pula pergolakan yang terjadi didalamnya ?
Selamat menyelami sejarah Luwu lewat buku ini. (Peresensi, A. Nurfitri Balasong)

ASAL USUL PERAHU PINISI


Perahu Pinisi

Di Stand Kab.Bulukumba bersama Sade'

1. Asal Usul

Bugis adalah salah satu sukubangsa yang ada di daerah Sulawesi Selatan. Sukubangsa ini sejak dahulu telah memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari Indonesia. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian mereka dalam mengarungi lautan. Hal itu disebabkan karena dalam berdagang (memasarkan hasil buminya), mereka tidak hanya mengarungi daerah-daerah di sekitar mereka, tetapi juga daerah lain di Indonesia, bahkan mancanegara. Oleh karena itu, mereka tidak hanya mengarungi perairan wilayah Indonesia, tetapi juga di perairan-perairan negara lain seperti: Malaysia, Philipina, Australia hingga ke Madagaskar (Afrika Selatan). Alat transpotasi yang digunakan adalah berbagai jenis perahu tradisional yang ada di kalangan orang Bugis-Makassar, seperti: pinisi, lambo’ (palari), lambo’ calabai, jarangka’, soppe’, dan pajala. Namun demikan, yang paling populer hingga saat ini adalah pinisi. Kepopuleran inilah yang kemudian membuahkan sebutan “perahu bugis” karena yang menggunakannya kebanyakan orang Bugis atau setidaknya bisa berbahasa Bugis.
Ada beberapa versi mengenai asal usul perahu pinisi. Versi yang pertama mengatakan bahwa perahu pinisi adalah buatan bangsa Prancis dan Jerman. Hal ini diperkuat oleh adanya tulisan dari peneliti asing mengenai seseorang yang berketurunan Prancis-Jerman yang bernama Martin Perrot yang melarikan diri ke Kuala Trengganu. Di sana ia menikahi seorang gadis Melayu. Di sana ia bekerja sebagai tukang kayu. Pada suatu hari, Raja Trengganu, Sultan Baginda Omar, memerintahkan untuk membuat sebuah perahu yang menyerupai perahu dari negeri Barat. Mendapat perintah itu, ia pun membuat perahu layar yang bertiang dua. Dan, itu mirip dengan perahu pinisi yang ada sekarang.
Versi lainnya, khususnya dari daerah Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa perahu pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 atau 16 Masehi. Orang yang pertama membuatnya adalah putera mahkota kerajaan Luwu yang bernama Sawerigading. Tokoh ini merupakan tokoh legendaris yang ada dalam Lontarak I babad La Galigo. Dalam babad tersebut diceritakan bahwa suatu hari, ketika Sawerigading pulang dari pengembaraannya, ia melihat saudara kembarnya (Watenri Abeng) dan jatuh hati kepadanya. Tentu saja hal ini membuat marah ayahnya (Raja Luwu). Untuk menghibur hati Sawerigading, Watenri Abeng menyuruhnya untuk pergi ke negeri Tiongkok, karena di sana konon ada seorang puteri yang wajahnya mirip dengannya. Puteri Tiongkok tersebut bernama We Cudai. Namun, untuk dapat pergi ke sana diperlukan perahu yang tangguh dan kuat. Sementara, Sawerigading tidak memilikinya. Padahal, untuk membuatnya diperlukan kayu yang berasal dari pohon welengreng atau pohon dewata yang adanya di daerah Mangkutu. Celakanya, pohon tersebut dianggap keramat, sehingga tidak ada orang yang berani menebangnya. Untuk itu, diadakanlah upacara besar-besaran yang bertujuan agar penunggu pohon bersedia pindah ke tempat atau pohon lain. Upacara tersebut dipimpin langsung oleh neneknya yang benama La Toge Langi (Batara Guru). Konon, setelah pohon welengreng tumbang, pembuatan perahu dibantu oleh neneknya dan dilakukan secara magis di dalam perut bumi. Ketika perahu sudah jadi, Sawerigading pun berangkat ke negeri Tiongkok. Ia bersumpah tidak akan kembali ke Luwu.
Singkat ceritera, Sawerigading berhasil mempersunting Puteri We Cundai dan tinggal di negeri Tiongkok. Setelah lama di sana, ia rindu pada tanah kelahirannya. Dan, suatu hari ia berlayar menuju Luwu. Namun, ketika perahu hendak berlabuh di pantai Luwu, tiba-tiba ada gelombang besar yang menghantamnya, sehingga pecah. Kepingan-kepingannya terdampar di beberapa tempat. Sebagian badannya terdampar di pantai Ara, tali temali dan layar perahu terdampar di daerah Tanjung Bira, dan lunas perahu terdampar di daerah Lemo-Lemo. Dan, oleh orang-orang yang tinggal di ketiga daerah tersebut, kepingan-kepingan tadi disusun kembali, sehingga ada kepercayaan bahwa nenek moyang merekalah yang merekonstruksi perahu milik Sawewigading yang kemudian dikenal sebagai pinisi. Demikianlah, sehingga keturunannya mewarisi keahlian-keahlian tertentu dalam pembuatan, bahkan mengemudi pinisi. Dalam konteks ini, orang Ara ahli dalam membuat tubuh dan bentuk perahu; orang Lemo-lemo ahli dalam finishing perahu; dan orang Tanjung Bira ahli mengemudi perahu (nahkoda dan awal perahu). Kekhasan-kekhasan itulah yang kemudian memunculkan ungkapan yang berbunyi:”Panre patangan’na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo Lemoa”, artinya “ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan papan) dari Ara, dan ahli menghaluskan dari Tana Lemo”. Berdasarkan ungkapan itu, maka banyak orang yang meyakini, khususnya orang Bugis-Makassar, bahwa perahu pinisi yang bagus (sempurna) adalah pinisi yang dibuat oleh orang Ara dan Tana Lemo.

2. Proses Pembuatan Pinisi

Pembuatan pinisi dilakukan di sebuah galangan kapal sederhana yang disebut sebagai bantilang, dengan teknik ruling1). Orang yang sangat berperan dalam pembuatan pinisi adalah punggawa (kepala tukang atau tukang ahli). Ia dibantu oleh para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi. Selain itu, dibantu juga oleh tenaga-tenaga yang lain, sehingga secara keseluruhan melibatkan puluhan orang. Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan pinisi dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam pembuatan sebuah perahu yang oleh orang Bugis disebut pinisi.

Pencarian dan Penebangan Pohon

Pohon yang dicari adalah welengreng atau dewata karena kedua jenis pohon tersebut disamping kuat, juga tahan air. Pencariannya pun tidak dilakukan pada sembarang hari, tetapi pada hari-hari tertentu, yaitu hari kelima dan ketujuh pada bulan dimulainya pembuatan perahu. Ini ada kaitannya dengan kepercayaan bahwa angka 5 (naparilimai dalle’na) oleh orang Tana Beru dianggap sebagai angka yang baik karena mempunyai arti “rezeki sudah di tangan”. Sedangkan, angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti “selalu mendapat rezeki”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan ditemukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan karena jenis pohon itu dipercayai ada “penunggunya”. Dalam upacara ini, yang dijadikan sebagai korban adalah seekor ayam. Tujuannya adalah agar penunggu pohon tersebut tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Dengan perkataan lain, penebangan dapat berjalan lancar dan selamat. Pohon yang telah ditebang itu kemudian dibawa ke bantilang.

Pengeringan dan Pemotongan Kayu

Sebelum pohon (kayu) dipotong-potong sesuai dengan keinginan, ketika peletakan balok lunas, ada semacam ritual. Dalam konteks ini, balok lunas diletakkan di bawah kayu yang akan dijadikan bahan pembuatan pinisi dan salah satu ujungnya diarahkan (dihadapkan) ke Timur Laut. Ujung balok lunas yang mengarah ke Timur Laut ini merupakan simbol laki-laki. Sedangkan, ujung yang satu lagi yang arahnya berlawanan merupakan simbol perempuan. Sebelum dipotong-potong sesuai dengan keinginan, maka bahan (kayu-kayu) tersebut dikeringkan. Kemudian, kayu yang akan dipotong ditandai dengan pahatan disertai pembacaan doa dengan tujuan agar kayu tersebut dapat berfungsi dengan baik ketika telah menjadi perahu.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemotongan adalah mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu. Selain itu, pemotongan harus sampai selesai (tidak boleh berhenti sebelum kayu terpotong). Dengan cara seperti itu kekuatan kayu tetap terjamin. Sebagai catatan, pemotongan kayu dimulai pada bagian ujung-ujungnya. Salah satu potongan ujungnya dibuang ke laut sebagai penolak bala dan sekaligus sebagai simbol peran laki-laki (suami) yang mencari nafkah di laut. Sedangkan, ujung yang satunya disimpan di rumah sebagai simbol peran perempuan (isteri) yang menunggu suami pulang.

Perakitan

Setelah lunas terbentuk dan dihaluskan, maka langkah berikutnya adalah pemasangan papan pengapit lunas (soting). Pemasangan ini disertai dengan suatu upacara yang disebut kalebiseang. Kemudian disusul dengan pemasangan papan yang ukurannya berbeda-beda (dari bawah ke atas). Papan yang kecil ada di bagian bawah, sedang papan yang besar ada di bagian atas. Keseluruhannya berjumlah 126 buah. Sebagai catatan, sebelum pemasangan dilakukan, ada upacara yang disebut anjerreki, yaitu upacara yang bertujuan untuk memperkuat lunas. Setelah papan tersusun, pekerjaan diteruskan dengan pemasangan buritan dan tempat kemudi bagian bawah. Selanjutnya, badan perahu yang telah terbentuk tetapi masih belum sempurna karena masih banyak sela-selanya, khususnya antarpapan yang satu dengan lainnya, maka sela-sela tersebut perlu ditutup dengan majun. Pekerjaan ini, oleh masyarakat setempat disebut sebagai “a’panisi”. Kemudian, agar sambungan antar papan dapat merekat dengan kuat, maka sambungan-sambungan tersebut diberi perekat yang terbuat dari sejenis kulit pohon barruk.
Setelah papan merekat kuat, pekerjaan selanjutnya adalah “allepa” atau mendempul. Bahannya adalah campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk oleh sedikitnya enam orang selama sekitar 12 jam. Banyaknya dempul yang diperlukan bergantung dari besar-kecilnya perahu yang dibuat. Untuk perahu yang bobotnya mencapai 100 ton, maka dempul yang diperlukan sekitar 20 kilogram. Selanjutnya, badan perahu yang telah dilapisi dengan dempul itu dihaluskan dengan kulit buah pepaya.
Penggunaan bahan-bahan sebagaimana disebut di atas (kulit pohon barruk dan kulit buah pepaya), ada kaitannya dengan mitos penciptaan pinisi yang menggunakan kekuatan magis. Mengacu kepada mitos itu, orang-orang di Tana Beru merasa bahwa komunitas mereka sebagai mikrokosmos, yaitu bagian dari jagad raya (makrokosmos). Hubungan antara kedua kosmos ini diatur oleh tata tertib abadi, sakral, dan telah dilembagakan oleh nenek moyang mereka sebagai adat istiadat. Kedua kosmos ini dijaga harmoninya, sehingga ada kecenderungan mempertahankan yang lama dan menolak atau mencurigai yang baru. Inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa mereka tidak begitu terpengaruh dengan teknologi modern.
Pandangan di atas juga berpengaruh pada aktivitas di galangan perahu (bantilang), yang prosesnya diibaratkan bayi dalam kandungan. Hal ini terlihat, misalnya, dalam upacara pemotongan lunas perahu (anatra kalebeseang). Pemotongan dan penyambungan balok-balok yang melambangkan perkawinan (persetubuhan) antara jantan dan betina sebagai “janin perahu”, kemudian menjadi “bayi perahu”. Selain itu, ada juga upacara pemberian pusat perahu (pamossi) yang melambangkan saat kelahiran (bayi) perahu ke laut lepas, seperti kelahiran manusia ke dunia dari kandungan ibunya. Dalam hal ini punggawa berperan sebagai ibu dan sekaligus sebagai “bidan”.
Sesuai dengan pandangan kosmos mereka, segala sesuatu dilihat dari segi totalitas yang berkaitan secara organik, sehingga pelanggaran terhadap “sebuah pantangan” akan berakibat fatal kepada keseluruhan (bayi) perahu yang akan dilahirkan. Pantangan terberat adalah apabila pihak sombali menyakiti hati punggawa. Kalau hal ini terjadi, perahu yang telah dibuat “tidak mau bergerak” ketika didorong ke laut. Ini disebabkan punggawa (sebagai ibu) tidak rela apabila “bayi” perahunya diserahkan kepada orang yang telah menyakiti hatinya. Oleh sebab itu, sombalu yang arif akan segera menghubungi sang punggawa untuk melakukan “perdamaian”. Apabila perahu diluncurkan secara paksa, perahu tersebut akan cacat sesudah sampai di laut. Jadi, ketangguhan perahu di laut bukan saja karena faktor teknis, tetapi juga karena faktor magis (gaib).

Pemasangan Tiang Layar

Setelah badan dan kerangka perahu selesai, maka pekerjaan selanjutnya adalah memasang tiang dan layar. Perahu pinisi biasanya menggunakan dua layar besar yang disebut sombala. Layar yang satu terpasang di bagian depan. Layar ini berukuran sekitar 200 meter persegi. Sedangkan, layar yang lainnya terletak lebih ke belakang dengan ukuran sekitar 125 meter persegi. Di atas setiap layar besar itu terdapat sebuah layar berbentuk segi tiga yang disebut tanpasere. Selain layar utama, pada bagian haluan dilengkapi tiga layar pembantu yang juga berbentuk segi tiga. Layar ini masing-masing disebut cocoro pantara (di bagian depan), cocoro tangnga (di tengah), dan tarengke (di bekalangnya). Sebagai catatan, pemasangan layar baru dilakukan setelah perahu sudah mengapung di laut.

Peluncuran Pinisi

Sebelum penisi diluncurkan ke laut, ada upacara yang dipimpin oleh punggawa. Jika pinisi yang akan diluncurkan bobotnya kurang dari 100 ton, maka binatang yang dijadikan korban adalah seekor kambing. Akan tetapi, jika bobotnya lebih dari 100 ton, maka yang dijadikan korban adalah seekor sapi. Adapun doa yang diucapkan sebagai berikut: “Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu).
Setelah upacara selesai, perahu ditarik oleh para sahi dan calon sahi menuju ke laut.
Peluncuran biasanya dilakukan pada saat air laut sedang pasang (tengah hari). Lamanya bisa berhari-hari (biasanya sampai 3 hari). Pemasangan layar dilakukan ketika perahu sudah mengapung di laut. Dan, dengan mengapungnya perahu di laut dan terpasangnya layar, maka punggawa dan para sahinya yang selama sekitar enam bulan membuatnya, berakhir. Sebagai catatan, setiap perahu pinisi mempunyai nama tersendiri, seperti: Pajjala, Banggo, dan Sadek.

3. Nilai Budaya

Pinisi, sebagai salah satu identitas Orang Bugis, jika dicermati secara saksama, khususnya dalam proses pembuatannya, mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu, antara lain: kerjasama, kerja keras, ketelitian, keindahan, dan religius.
Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan antara punggawa (kepala tukang atau tukang ahli), para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi serta tenaga-tenaga yang lainnya. Masing-masing mempunyai tugas tersendiri. Tanpa kerjasama yang baik antar mereka, perahu tidak dapat terwujud dengan baik. Bahkan, bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah terwujud.
Nilai kerja keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu welengreng atau dewata yang tidak mudah karena tidak setiap tempat ada. Penebangannya pun juga diperlukan kerja keras karena masih menggunakan peralatan tradisional (bukan gergaji mesin). Nilai ini juga tercermin dalam pemotongannya yang tidak boleh berhenti sebelum selesai (terpotong) dan pemasangan atau perakitannya yang membutuhkan kerja keras. Selain itu, nilai ini juga tercermin dalam pendempulan dan peluncuran karena untuk memindahkan perahu dari galangan bukan merupakan hal yang mudah atau ringan, tetapi diperlukan kerja keras yang membutuhkan waktu beberapa hari (sekitar 3 hari atau lebih).
Nilai ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu). Nilai keindahan dari bentuknya yang bentuknya yang sedemikian rupa, sehingga tampak kuat, gagah, dan indah.
Nilai religius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan upacara agar “penunggunya” tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin dalam doa ketika perahu akan diluncurkan ke laut (“Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir”) (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu). (gufron)
Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

KECANTIKAN PUTRI TADAMPALIK


PUTRI TADAMPALIK

Ilustrasi Belaka
Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau Sulawesi. Negeri Luwu dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu Maongge, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Karena sikapnya yang adil, arif dan bijaksana, maka rakyatnya hidup makmur. Sebagian besar pekerjaan rakyat Luwu adalah petani dan nelayan. Datu Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak. Termasuk di antaranya Raja Bone yang tinggalnya sangat jauh dari Luwu.
Raja Bone ingin menikahkan anaknya dengan Putri Tandampalik. Ia mengutus beberapa utusannya untuk menemui Datu Luwu untuk melamar Putri Tandampalik. Datu Luwu menjadi bimbang, karena dalam adatnya, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Tetapi, jika lamaran tersebut ditolak, ia khawatir akan terjadi perang dan akan membuat rakyat menderita. Meskipun berat akibat yang akan diterima, Datu Lawu memutuskan untuk menerima pinangan itu. “Biarlah aku dikutuk asal rakyatku tidak menderita,” pikir Datu Luwu.
Beberapa hari kemudian utusan Raja Bone tiba ke negeri Luwu. Mereka sangat sopan dan ramah. Tidak ada iringan pasukan atau armada perang di pelabuhan, seperti yang diperkirakan oleh Datu Luwu. Datu Luwu menerima utusan itu dengan ramah. Saat mereka mengutarakan maksud kedatangannya, Datu Luwu belum bisa memberikan jawaban menerima atau menolak lamaran tersebut. Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun pulang kembali ke negerinya.
Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di negeri Luwu. Putri Tandampalik jatuh sakit. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang berbahaya. Berita cepat tersebar. Rakyat negeri Luwu dirundung kesedihan. Datu Luwu yang mereka hormati dan Putri Tandampalik yang mereka cintai sedang mendapat musibah. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan anaknya. Karena banyak rakyat yang akan tertular jika Putri Tandampalik tidak diasingkan ke daerah lain. Keputusan itu dipilih Datu Luwu dengan berat hati. Putri Tandampalik tidak berkecil hati atau marah pada ayahandanya. Lalu ia pergi dengan perahu bersama beberapa pengawal setianya. Sebelum pergi, Datu Luwu memberikan sebuah keris pada Putri Tandampalik, sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan apalagi membuang anaknya.
Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah pulau. Pulau itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan subur. Seorang pengawal menemukan buah Wajao saat pertama kali menginjakkan kakinya di tempat itu. “Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo,” kata Putri Tandampalik. Sejak saat itu, Putri Tandampalik dan pengikutnya memulai kehidupan baru. Mereka mulai dengan segala kesederhanaan. Mereka terus bekerja keras, penuh dengan semangat dan gembira.
Pada suatu hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampirinya. Kerbau bule itu menjilatinya dengan lembut. Semula, Putri Tandampalik hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya ia diamkan saja. Ajaib! Setelah berkali-kali dijilati, luka berair di tubuh Putri Tandampalik hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali halus dan bersih seperti semula. Putri Tandampalik terharu dan bersyukur pada Tuhan, penyakitnya telah sembuh. “Sejak saat ini kuminta kalian jangan menyembelih atau memakan kerbau bule, karena hewan ini telah membuatku sembuh,” kata Putri Tandampalik pada para pengawalnya. Permintaan Putri Tandampalik itu langsung dipenuhi oleh semua orang di Pulau Wajo hingga sekarang. Kerbau bule yang berada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak.
Di suatu malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh seorang pemuda yang tampan. “Siapakah namamu dan mengapa putri secantik dirimu bisa berada di tempat seperti ini?” tanya pemuda itu dengan lembut. Lalu Putri Tandampalik menceritakan semuanya. “Wahai pemuda, siapa dirimu dan dari mana asalmu ?” tanya Putri Tandampalik. Pemuda itu tidak menjawab, tapi justru balik bertanya, “Putri Tandampalik maukah engkau menjadi istriku?” Sebelum Putri Tandampalik sempat menjawab, ia terbangun dari tidurnya. Putri Tandampalik merasa mimpinya merupakan tanda baik baginya.
Sementara, nun jauh di Bone, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu. Ia ditemani oleh Anre Pguru Pakanranyeng Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota tidak sadar kalau ia sudah terpisah dari rombongan dan tersesat di hutan. Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara hewan malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di kejauhanm, ia melihat seberkas cahaya. Ia memberanikan diri untuk mencari dari mana asal cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah perkampungan yang letaknya sangat jauh. Sesampainya di sana, Putra Mahkota memasuki sebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik.
“Mungkinkah ada bidadari di tempat asing begini ?” pikir putra Mahkota. Merasa ada yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap,” rasanya dialah pemuda yang ada dalam mimpiku,” pikirnya. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik merasa pemuda yang kini berada di hadapannya adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsing menaruh hati.
Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kembali ke negerinya karena banyak kewajiban yang harus diselesaikan di Istana Bone. Sejak berpisah dengan Putri Tandampalik, ingatan sang Pangeran selalu tertuju pada wajah cantik itu. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anre Guru Pakanyareng, Panglima Perang Kerajaan Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu, mengetahui apa yang dirasakan oleh anak rajanya itu. Anre Guru Pakanyareng sering melihat Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi telaga. Maka Anre Guru Pakanyareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian yang mereka alami di pulau Wajo. “Hamba mengusulkan Paduka segera melamar Putri Tandampalik,” kata Anre Guru Pakanyareng. Raja Bone setuju dan segera mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik.
Ketika utusan Raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketia ia di asingkan. Putri Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu berarti pinangan diterima. Putra Mahkota segera berangkat ke Kerajaan Luwu sendirian. Perjalanan berhari-hari dijalani oleh Putra Mahkota dengan penuh semangat. Setelah sampai di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.
Datu Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Maka ia pun menerima keris pusaka itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi pulau Wajo untuk bertemu dengan anaknya. Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan. Datu Luwu merasa bersalah telah mengasingkan anaknya. Tetapi sebaliknya, Putri Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang dideritanya. Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadi raja yang arif dan bijaksana.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More