Monumen Toddo'puli di Kota Palopo |
Pagelaran Seni Bugis ‘I La Galigo’ Disambut Luar Biasa di New York
Kapanlagi.com - Hari pertama penampilan pertunjukan kesenian dari Bugis ‘I La Galigo’ di New York, Rabu malam mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat yang memadati Gedung Teater utama kompleks Lincoln Center.Sekitar 3000 penonton memenuhi kursi-kursi New York State Theater dan harus antri cukup panjang untuk membeli karcis seharga US$ 25 hingga US$ 150.
Selain dari New York, banyak penonton yang datang dari berbagai kota di AS seperti Washington DC, Boston dan Philadelphia
‘I La Galigo’, suatu gabungan karya drama, tari, musik tradisional dan puisi dari epik Bugis Kuno, tampil empat kali di Lincoln Center New York pada 13-16 Juli ini.
Sebanyak 50 penari dan pemain musik asal Indonesia tampil dalam pertunjukan selama tiga jam yang disutradarai Robert Wilson tersebut.
Menurut Nigel Redden, Direktur Lincoln Center Festival, kekuatan dari ‘I La Galigo’ sehingga dinantikan banyak orang bukan hanya karena nama besar Robert Wilson, namun juga mitos dalam kisah yang diangkat dari karya sastra bugis kuno (Sureq Galigo) tersebut.
“Orang ingin melihat bagaimana epik yang sering disebut sebagai yang terpanjang di dunia tersebut diangkat dalam suatu pertunjukan teater,” kata Redden.
Pemberitaan pers di New York mengenai ‘I La Galigo’, dalam sepekan terakhir ini juga mendorong penonton yang mengetahui lebih jauh mengenai epik yang naskah aslinya hanya bisa dimengerti oleh segelintir orang tersebut.
Sebelumnya I La Galigo juga mencatat sukses dalam penampilan di Singapura, Barcelona, Lyon dan Amsterdam.
Keberhasilan ini juga ditidak lepas dari kerja sama apik antara seniman Amerika dan Indonesia, diantaranya Rhoda Grauer untuk adaptasi teks, Rahayu Supanggah sebagai pengarah musik, dan Restu Kusumaningrum sebagai koordinator artistik.
Dalam pertunjukan tersebut, Robert Wilson tampaknya ingin membawa penonton dalam kesakralan I La Galigo dengan menghadirkan seorang pemimpin spiritual asli Bugis yang menjadi penutur kisah.
Tulisan-tulisan bugis kuno dari naskah Sureq Galigo pun dipampang dalam layar tranparan sebelum pertunjukan dimulai.
Sureq Galigo berisi tentang asal usul orang Bugis yang disebutkan masih keturunan dari dewa-dewa penguasa dunia atas dan dunia bawah.
Dikisahkan bahwa Sawerigading, anak penguasa dunia atas dan dunia bawah sebagai titisan Batara Guru, memiliki saudara kembar perempuan yang cantik jelita bernama We Tenriabeng.
Sawerigading ingin mengawini We Tentriabeng namun dilarang oleh kerajaan langit. We Tenriabeng kemudian menyarankan Sawerigading untuk meminang putri China, We Cudaiq, yang masih saudara sepupunya. Berangkatlah Sawerigading ke negeri China dengan membawa berbagai mas kawin.
Namun We Cudaiq ternyata melolak uluran cinta Sawerigading yang dinilai sebagai orang dari bangsa barbar. Cinta ditolak, Sawerigading pun marah dan dengan kesaktiannya langsung memporakporandakan negeri China.
Sebelum negerinya hancur, We Cudaiq pun terpaksa menerima pinangan dan akhirnya mereka mempunyai anak yang bernama I La Galigo. Namun karena memang awalnya tidak cinta, We Cudaiq kembali menampik Sawerigading dan anaknya.
I La Galigo pun dibesarkan oleh ayahnya dan tumbuh menjadi pemuda tampan dan berbudi. Ia menjadi tokoh yang kemudian memimpin kerajaan dunia tanpa ada lagi intervesi dari dewa-dewa penguasa dunia atas dan dunia bawah. (*/erl)
————————————————————
Selasa, 12 Juli 2005 09:23
‘Sureq Galigo’, Sastra Kuno Bugis yang Harus Terus Dilestarikan
Kapanlagi.com - ‘Sureq Galigo’, karya sastra kuno Bugis dari abad 14 Masehi, merupakan salah satu kekayaan budaya yang harus terus digali sehingga makin dikenal, baik oleh masyarakat internasional maupun masyarakat Indonesia sendiri.”Ini adalah harta karun yang amat berharga dan harus dilestarikan, jangan sampai nantinya punah atau dilupakan orang,” kata Rhoda Grauer, seorang seniman dan pembuat film asal Amerika Serikat di New York, Senin.
‘Sureq Galigo’ yang dikenal sebagai epik kuno terpanjang di dunia itu kini makin dikenal di dunia melalui pertunjukkan I La Galigo nama tokoh dalam epik tersebut.
Setelah sukses di Amsterdam, Singapura, Madrid, Barcelona, Lyon dan Ravenna, I La Galigo pada 13-16 Juli ini akan tampil di Lincoln Center New York yang selama ini dikenal selektif dan hanya menggelar karya-karya ‘berkelas’.
Grauer merupakan seniman yang ikut mendalami kekayaan khasanah ‘Sureq Galigo’ tersebut dan bersama sutradara Robert Wilson mengangkatnya menjadi suatu pertunjukkan besar.
Menurut Grauer, Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus melakukan upaya agar ‘Sureq Galigo’ tidak sekedar naskah kuno yang tergeletak di museum.
Naskah ‘Sureq Galigo’ sendiri antara lain tersimpan di Museum Leiden, Belanda.
“Sekarang tidak banyak orang yang mengerti tulisan atau bahasa dari naskah ‘Sureq Galigo’, bahkan di Sulawasi Selatan sendiri,” kata Grauer yang dalam pertunjukkan I La Galigo sebagai penulis teks cerita.
Upaya menerjemahkan isi ‘Sureq Galigo’ secara lengkap perlu segera dilakukan, termasuk mencari manuskrip-manuskrip yang mungkin masih disimpan perorangan.
Selain itu perlu semacam pendidikan khusus bagi generasi muda Indonesia untuk mempelajari naskah kuno tentang asal usul orang Bugis tersebut. (*/erl)
Kapanlagi.com - Hari pertama penampilan pertunjukan kesenian dari Bugis ‘I La Galigo’ di New York, Rabu malam mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat yang memadati Gedung Teater utama kompleks Lincoln Center.Sekitar 3000 penonton memenuhi kursi-kursi New York State Theater dan harus antri cukup panjang untuk membeli karcis seharga US$ 25 hingga US$ 150.
Selain dari New York, banyak penonton yang datang dari berbagai kota di AS seperti Washington DC, Boston dan Philadelphia
‘I La Galigo’, suatu gabungan karya drama, tari, musik tradisional dan puisi dari epik Bugis Kuno, tampil empat kali di Lincoln Center New York pada 13-16 Juli ini.
Sebanyak 50 penari dan pemain musik asal Indonesia tampil dalam pertunjukan selama tiga jam yang disutradarai Robert Wilson tersebut.
Menurut Nigel Redden, Direktur Lincoln Center Festival, kekuatan dari ‘I La Galigo’ sehingga dinantikan banyak orang bukan hanya karena nama besar Robert Wilson, namun juga mitos dalam kisah yang diangkat dari karya sastra bugis kuno (Sureq Galigo) tersebut.
“Orang ingin melihat bagaimana epik yang sering disebut sebagai yang terpanjang di dunia tersebut diangkat dalam suatu pertunjukan teater,” kata Redden.
Pemberitaan pers di New York mengenai ‘I La Galigo’, dalam sepekan terakhir ini juga mendorong penonton yang mengetahui lebih jauh mengenai epik yang naskah aslinya hanya bisa dimengerti oleh segelintir orang tersebut.
Sebelumnya I La Galigo juga mencatat sukses dalam penampilan di Singapura, Barcelona, Lyon dan Amsterdam.
Keberhasilan ini juga ditidak lepas dari kerja sama apik antara seniman Amerika dan Indonesia, diantaranya Rhoda Grauer untuk adaptasi teks, Rahayu Supanggah sebagai pengarah musik, dan Restu Kusumaningrum sebagai koordinator artistik.
Dalam pertunjukan tersebut, Robert Wilson tampaknya ingin membawa penonton dalam kesakralan I La Galigo dengan menghadirkan seorang pemimpin spiritual asli Bugis yang menjadi penutur kisah.
Tulisan-tulisan bugis kuno dari naskah Sureq Galigo pun dipampang dalam layar tranparan sebelum pertunjukan dimulai.
Sureq Galigo berisi tentang asal usul orang Bugis yang disebutkan masih keturunan dari dewa-dewa penguasa dunia atas dan dunia bawah.
Dikisahkan bahwa Sawerigading, anak penguasa dunia atas dan dunia bawah sebagai titisan Batara Guru, memiliki saudara kembar perempuan yang cantik jelita bernama We Tenriabeng.
Sawerigading ingin mengawini We Tentriabeng namun dilarang oleh kerajaan langit. We Tenriabeng kemudian menyarankan Sawerigading untuk meminang putri China, We Cudaiq, yang masih saudara sepupunya. Berangkatlah Sawerigading ke negeri China dengan membawa berbagai mas kawin.
Namun We Cudaiq ternyata melolak uluran cinta Sawerigading yang dinilai sebagai orang dari bangsa barbar. Cinta ditolak, Sawerigading pun marah dan dengan kesaktiannya langsung memporakporandakan negeri China.
Sebelum negerinya hancur, We Cudaiq pun terpaksa menerima pinangan dan akhirnya mereka mempunyai anak yang bernama I La Galigo. Namun karena memang awalnya tidak cinta, We Cudaiq kembali menampik Sawerigading dan anaknya.
I La Galigo pun dibesarkan oleh ayahnya dan tumbuh menjadi pemuda tampan dan berbudi. Ia menjadi tokoh yang kemudian memimpin kerajaan dunia tanpa ada lagi intervesi dari dewa-dewa penguasa dunia atas dan dunia bawah. (*/erl)
————————————————————
Selasa, 12 Juli 2005 09:23
‘Sureq Galigo’, Sastra Kuno Bugis yang Harus Terus Dilestarikan
Kapanlagi.com - ‘Sureq Galigo’, karya sastra kuno Bugis dari abad 14 Masehi, merupakan salah satu kekayaan budaya yang harus terus digali sehingga makin dikenal, baik oleh masyarakat internasional maupun masyarakat Indonesia sendiri.”Ini adalah harta karun yang amat berharga dan harus dilestarikan, jangan sampai nantinya punah atau dilupakan orang,” kata Rhoda Grauer, seorang seniman dan pembuat film asal Amerika Serikat di New York, Senin.
‘Sureq Galigo’ yang dikenal sebagai epik kuno terpanjang di dunia itu kini makin dikenal di dunia melalui pertunjukkan I La Galigo nama tokoh dalam epik tersebut.
Setelah sukses di Amsterdam, Singapura, Madrid, Barcelona, Lyon dan Ravenna, I La Galigo pada 13-16 Juli ini akan tampil di Lincoln Center New York yang selama ini dikenal selektif dan hanya menggelar karya-karya ‘berkelas’.
Grauer merupakan seniman yang ikut mendalami kekayaan khasanah ‘Sureq Galigo’ tersebut dan bersama sutradara Robert Wilson mengangkatnya menjadi suatu pertunjukkan besar.
Menurut Grauer, Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus melakukan upaya agar ‘Sureq Galigo’ tidak sekedar naskah kuno yang tergeletak di museum.
Naskah ‘Sureq Galigo’ sendiri antara lain tersimpan di Museum Leiden, Belanda.
“Sekarang tidak banyak orang yang mengerti tulisan atau bahasa dari naskah ‘Sureq Galigo’, bahkan di Sulawasi Selatan sendiri,” kata Grauer yang dalam pertunjukkan I La Galigo sebagai penulis teks cerita.
Upaya menerjemahkan isi ‘Sureq Galigo’ secara lengkap perlu segera dilakukan, termasuk mencari manuskrip-manuskrip yang mungkin masih disimpan perorangan.
Selain itu perlu semacam pendidikan khusus bagi generasi muda Indonesia untuk mempelajari naskah kuno tentang asal usul orang Bugis tersebut. (*/erl)
0 komentar:
Posting Komentar