Etika dan Moralitas Kepemimpinan Tradisional (Transformasi Ajaran To Ciung Maccae ri Luwu dalam Kehidupan Bernegara)
Mentransformasi sebuah nilai, pemikiran atau ajaran masa lalu untuk kemudian ditarik dalam ranah kekinian memang merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Upaya ini bahkan hanya dinilai sebagai sebuah proses beromantika tanpa harus tertarik dan tergugah untuk mewujudkannya sebagai sebuah konsep yang “ideal” dalam sistem kepemimpinan (pemerintahan) yang ada.
Realitas ini tidak dapat dipungkiri terjadi pada hampir semua sistem nilai yang kita (masyarakat Sulawesi Selatan) miliki, termasuk kearifan lokal tentang kepemimpinan. Sebab hampir semua konsepsi bernegara, dalam hal ini konsepsi tentang kepemimpinan kita telah diformat dalam sebuah paradigma Barat atau kultur lain. Bahkan jika kita terpaksa untuk menggali nilai-nilai dan ajaran kepemimpinan kuno dalam masyarakat, kita hanya berputar dalam ruang-ruang penyesuaian dengan nilai dan ajaran-ajaran yang sudah terdoktrin secara tegas dalam sistem bernegara kita.
Dalam konsep demokrasi misalnya, para ilmuwan, kebanyakan hanya mengakatakan bahwa konsep demokrasi yang ada sekarang sebenarnya juga telah lama diterapkan dalam sistem kepemimpinan masyarakat di Sulawesi Selatan. Jadi, kita hanya digiring untuk menyamakan apa yang kita miliki dengan apa yang telah kita adopsi secara berlebihan dari kultur lain. Dalam keadaan demikian, maka semua tata nilai dan ajaran yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada masa lampau hanya menjadi bahan perbandingan tanpa perlu mengangkatnya menjadi sebuah ilmu pengetahuan apalagi harus diterapkan dalam sistem bernegara kita, meskipun hanya dalam lingkup yang lebih kecil.
***
Di Sulawesi Selatan, pemikiran politik, utamanya konsep kepemimpinan dalam pemerintahan, bertumbuh seiring dengan perkembangan pemikiran dan kondisi sosial masyarakat. Perkembangan konsep pemerintahan (kepemimpinan) di Sulawesi Selatan dapat dilihat berdasarkan tiga periode yakni (1) periode Galigo, (2) periode lontara’ dan (3) periode masuknya Islam.
Pada periode Galigo, konsep kepemimpinan dapat dirumuskan berdasarkan pandanganreligio charismatis. Pada masa ini keberadaan dewa-dewa sebagai penguasa di bumi mendominasi kehidupan masyarakat. Dalam periode ini dikisahkan bagaimana awal mulanya penciptaan dunia dan bagaimana usaha para dewa di langit dengan segala kekuatan super yang dimilikinya berusaha menempatkan keturunannya di bumi sebagai penguasa. Dalam epos Galigo dengan jelas diceritakan bagaimana peran para dewa langit (keturunan Patoto’e atau Sang Penentu Nasib) membangun tatanan sosial di bumi. Di sini jelas sekali nampak bahwa peranan manusia biasa hampir tidak ada. Kalau pun ada, mereka tidaklah mempunyai peranan penting dalam proses tersebut. Kehidupan di bumi pun kemudian dibangun pula oleh keturunan dewa dari Dunia Bawah (Peretiwi) yang menjadi pasangan dewa dari Dunia Atas (Boting Langi’).
Setelah diturunkannya kedua manusia-dewa tersebut, maka semua manusia yang tidak termasuk dalam golongan mereka hanya mampu menerima nasib. Tidak ada aturan yang dapat diberlakukan kecuali aturan dewata. Manusia biasa bukanlah subjek dalam kehidupan masyarakat. Segala sesuatu dimulai dan ditempatkan dari atas, menurut kehendak sang dewata. Dan manusia biasa pun kemudian menerima keadaan tersebut sebagai sesuatu yang semestinya memang demikian.
Pada periode Galigo ini, dengan jelas dapat dilihat bahwa sikap hidup manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang ada diluar dirinya. Segala sesuatunya dinisbahkan pada kekuatan adikodrati (supranatural) sebagai sumber segala kekuasaan dan kepemimpinan. Dalam kondisi masyarakat demikian, kekuasaan dalam kelompok-kelompok masyarakat diserahkan pada orang-orang yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang berasal dari penitisan dewa-dewa dari Boting Langi’ atau Peretiwi.
Berdasarkan kondisi masyarakat pada masa itu, pola pikir (konsep) kepemimpinan pun terbentuk. Kekuasaan kemudian menjadi absolut dan hanya menjadi milik dewa-dewa atau titisan dewa. Kekuasaan dikonsepsi berdasarkan aturan kerajaan-kerajaan dewa dan manusia biasa hanya bisa mengikuti. Segala kekuasaan pimpinan dalam persekutuan hidup dan negara datang langsung dari Patoto’e (Yang Menentukan Nasib atas segala sesuatunya). Pemimpin diyakini sebagai dewa atau wakil dewa dan bertugas untuk memimpin, mengatur tata-tertib umat manusia dan manusia harus taat pada kekuasaan suci tersebut.
Dengan demikian, berkembang pula pemahaman dan menjadi kepercayaan rakyat bahwa seorang pemimpin dalam sebuah kelompok memiliki kekuatan sakti yang berasal dari dewa. Seorang pemimpin bukan hanya mempunyai kekuatan fisik, tetapi juga metafisik yang kemudian dianggap sebagai representasi kekuasaan langit dan bumi yang berkelanjutan dari dunia sampai sesudah mati.
Manusia menghadapi dunianya secara pasif dan dalam kehidupannya mereka memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka hanya mengikuti kosmos atau kodrat, sebagai sesuatu yang tak mungkin dilawan atau diubah secara seenaknya. Mereka beranggapan bahwa semuanya telah diatur oleh dewata dan atau titisannya yang menjadi penguasa (raja) di bumi.
Hal ini juga terjadi pada hubungan antara pemerintah dan yang diperintah. Hubungan ini dianggap semata-mata hanyalah kodrat yang tak dapat dilawan. Ketaatan yang diperintah kepada pemerintahnya; kesetiaan yang dipimpin kepada pimpinannya dipandang sebagai kodrat suci yang telah berlaku tanpa sanggahan.
Meski bersifat absolut, namun pada periode Galigo ini, pemimpin juga berusaha memberikan tuntunan etik dan moral terhadap kegiatan-kegiatan duniawi kepada rakyatnya. Berbagai pola kepemimpinan pun dihadirkan dengan segala model etika yang sebaiknya dipatuhi dan dijalankan oleh rakyat. Misalnya saja dalam sure’ Galigo yang menceritakan ketika Batara Guru akan diturunkan ke bumi. Ketika itu para dewa terlebih dahulu melakukan musyawarah. Dalam musyawarah tersebut, titisan yang akan diturunkan ke bumi benar-benar merupakan keturunan yang memiliki kelebihan yang luar biasa, sehingga nantinya diharapkan mampu menjadi pemimpin yang baik dan melahirkan keturunan yang baik pula.
Hal ini nampak ketika I La Sangiang hendak diturunkan ke bumi. Para dewa yang ikut dalam musyawarah segera menolak. Hal ini disebabkan sifat I La Sangiang yang ugal-ugalan dan suka membuat keributan.
“…selama ini ia selalu menginginkan perang di Boting Langiq dan tak mampu menghargai sesamanya datu. Bahkan ia selalu merasa hanya dirinyalah yang dianggap anak dewata di Rualletté, tak ada duanya. Selain itu, pekerjaannya hanyalah menyabung ayam andalannya. Dan ia selalu berbuat curang. Kalau ayamnya mati, ia pun membunuh ayam sesamanya raja yang mengalahkannya agar seri.”
Dan setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Batara Guru terpilih sebagai keturunan Patoto’e yang akan diturunkan ke bumi. Batara Guru memang memiliki kepribadian yang paripurna dibanding semua saudara-saudaranya.
“…. sangat sulit sekali mengambil keputusan ini, sebab ia telah kupersiapkan untuk menjadi raja di Rualletté. Ia memang sangat dibutuhkan, sebab dialah yang selalu membimbing sesamanya anak dewata di langit. Namun, biarlah kita turunkan saja anak sulung kita, Batara Guru, ke permukaan bumi. Semoga ia dapat membimbing penghuni bumi menyembah ke Boting Langiq dan menengadahkan tangan ke Pérétiwi.”
Walaupun demikian, kekuasaan dewa di dunia sangat mutlak terhadap apapun yang ada di bumi. Konsep kepemimpinan periode Galigo ini, bisa disebut sebagi paham teokrasi. Paham ini menganggap raja menjadi raja dan negara menjadi negara itu berkat kekuasaan dan kehendak Tuhan atau Dewa. Dengan pimpinan Tuhan, raja memimpin umat manusia agar tercapai ketertiban seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Negara sebagai negara hanyalah perwujudan dan pelaksanaan kuasa Tuhan semata-mata
Pola kepemimpinan periode Galigo ini berlangsung selama ratusan tahun hingga semua keturunan dewa langit kembali ke langit dan tertutupnya pintu langit, sehingga dewa-dewa di langit tidak mudah lagi mondar mandir antara langit ke bumi. Pola kepemimpinan ini dapat dikatakan berakhir pada masa setelah Sawerigading dan We Cudai ditarik turun ke Dunia Bawah (Peretiwi) untuk menjadi penguasa. Pada masa selanjutnya, semua keturunan dewa kembali ke langit dan diputuskanlah hubungan antara langit dan bumi. Adapun tokoh-tokoh dalam periode Galigo ini seperti Batara Guru, Batara Lattu’, Sawerigading, I La Galigo, dll.
Dalam manuskrip-manuskrip tua (lontara’) dijelaskan bahwa setelah terjadinya masa kekosongan kekuasaan (karena semua keturunan Batara Guru naik ke langit dan terputusnya hubungan antara langit dan bumi), maka kekacauan (sianre bale) pun terjadi selama 7 pariama. Pada masa itu, masyarakat tidak lagi mempunyai (pemimpin) pemerintahan yang mampu menjaga keamanan rakyat. Kelompok-kelompok kecil kekuasaan menjamur dan berlomba untuk saling menguasai. Masyarakat tak mempunyai pegangan (pemimpin), sebab selama ini masyarakat hanya menganggap bahwa keturunan dari penguasa langitlah (Dewata Patoto’e) yang berhak memerintah (berkuasa) di Bumi (Ale Lino). Karena tak adanya keturunan dari langit, maka kekuasaan pun tak terkendali dan terjadilah masa sianre bale.
Dalam kondisi tersebut, masyarakat kehilangan pegangan hingga datangnya kembali to manurung (orang yang dianggap sebagai keturunan dari langit). Setelah masa kegelapan tersebut, Simpurusiang (1268-1293) kemudian muncul sebagai penguasa di Luwu. Oleh masyarakat, Simpurusiang masih dipercaya sebagai keturunan dewata yang turun dari langit (masih keturunan Sawerigading) yang turun ke bumi untuk menghentikan kekacauan dan mengatur pemerintahan. Sejak saat itulah sistem pemerintahan mulai berjalan dengan baik.
Konsep kepemimpinan di Sulawesi Selatan setelah masa sianre bale berlalu, ternyata belum mengalami perubahan yang signifikan. Masa sianre bale yang terjadi memang hanya disebabkan oleh tidak adanya keturunan dari langit yang turun memimpin seperti pada periode Galigo. Karenanya, konsep kepemimpinan seperti pada periode Galigo, pun masih menjadi pegangan kuat bagi masyarakat dalam menentukan pemimpin.
Pada periode setelah terputusnya hubungan antara penghuni langit dan bumi, masyarakat kemudian memasuki sebuah masa baru yang disebut periode lontara’. Oleh para ahli, periode lontara’ dan periode Galigo diantarai oleh masa sianre bale. Meski pada periode ini konsep kepemimpinan pada hakekatnya masih sama dengan periode Galigo (kepemimpinan dewa-dewa), namun peran manusia biasa (rakyat) telah menduduki tempat tersendiri dan menentukan. Manusia biasa telah mempunyai hak untuk menentukan siapa yang adakan menjadi pemimpinnya.
Konsep to manurung masa Galigo yang bersifat absolut kemudian mengalami pergeseran. Dalam proses penetapan seorang pemimpin, rakyat dan calon pemimpin telah diikat oleh semacam kontrak politik. Adapun kontrak politik antara rakyat dan calon pemimpinnya yang kemudian banyak dipakai pada pengangkatan seorang raja di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan kurang lebih sebagai berikut:
Rakyat: “Anginlah Engkau, dan kami daun kayu. Kemana engkau berhembus, ke situ pula kami ikut serta. Kehendakmu, menjadi kehendak kami pula. Apa nian titahmu, kami junjung. Perintahkanlah, kami penuhi. Mintalah dari kami dan kami akan memberimu. Engkau menyeru, kami datang. Terhadap anak-istri kami yang engkau cela, kami pun mencelanya. Akan tetapi, pimpinlah kami ke arah ketenteraman, kesejahteraan dan perdamaian.”
To Manurung: “Kami menjunjungnya di atas batok kepala janjimu wahai orang banyak. Kami tempatkan dalam rumah keemasan, kemuliaan janjimu.
Kontrak politik antara rakyat dan calon pemimpin dalam periode lontara’ ini merupakan salah satu pembeda yang cukup jelas dengan konsep kepemimpinan (pemerintahan/ kekuasaan) pada periode Galigo. Pada periode ini, peran rakyat mulai kuat dan dapat menentukan seorang pemimpin. Meskipun pada hakekatnya mereka masih memegang kuat konsep kepemimpinan masa Galigo yang menganggap bahwa raja adalah dewa atau titisan dewa, namun kedudukan rakyat semakin kuat dan memegang peran penting.
Konsep to manurung pada periode lontara’ ini kemudian bertahan dan menjadi cikal bakal terbentuknya kerajaan-kerajaan selanjutnya, seperti Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng dan beberapa kerajaan lainnya. Meski ada juga beberapa kerajaan yang tidak mengenal konsep to manurung, namun dalam silsilah kerajaan yang mereka susun, selalu mempertautkan silsilah penguasanya dengan masa Galigo (Kedatuan Luwu).
Pada periode lontara’ ini konsep kepemimpinan berkembang berdasarkan pandangan tradisional dan patrimonial, meski beberapa to manurung yang muncul dan menjadi raja pertama di beberapa kerajaan adalah seorang perempuan, misalnya di Kerajaan Gowa. Pada masa ini struktur pemerintahan semakin berkembang. Beberapa lembaga-lembaga mulai terbentuk sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan rakyat. Di Luwu, misalnya, berbagai lembaga-lembaga yang bertugas membantu tugas raja terbentuk dan kemudian menjadi pola bagi perkembangan lembaga-lembaga di beberapa kerajaan, khususnya di Sulawesi Selatan.
Dialektika pemikiran tentang konsep kepemimpinan (pemerintahan) kemudian melahirkan sebuah lapisan masyarakat penguasa yang akan dijadikan cikal bakal penguasa. Lapisan masyarakat ini disebut anakarung atau anakareang. Bila dicermati dengan baik pelapisan masyarakat di Sulawesi Selatan pada umumnya dapat dibagi ke dalam tiga lapisan yaknianakarung (lapisan raja beserta sanak keluarganya), maradeka (lapisan rakyat jelata atau rakyat kebanyakan) dan ata (sahaya).
Dalam pandangan Friedericy (1933) malah melihat pelapisan masyarakat Sulawesi Selatan pada hakekatnya hanya terdiri dari dua yakni anakarung dan maradeka. Adapunata menurutnya hanya merupakan lapisan sekunder yang terjadi mengikuti pertumbuhan kehidupan Sulawesi Selatan. Selain itu, lapisan ini bisa juga muncul dan atau menjadi akibat dari sebuah peristiwa (kalah perang, kalah judi, punya utang yang tak mampu dibayar, dll).
Selain munculnya dua pelapisan dalam masyarakat di Sulawesi Selatan, perubahan terhadap konsep kepemimpinan (kekuasaan) juga terus mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pengetahuan. Berbagai pranata sosial terbentuk dan berkembang sejalan dengan fungsinya dan kebutuhan masyarakat. Masa ini berlangsung ratusan tahun hingga masuknya Islam dan menjadi agama kerajaan
Dalam periode Islam, konsep pemerintahan di masyarakat Sulawesi Selatan, juga mengalami perubahan. Berbagai pranata sosial dibangun dengan landasan pemikiran Islam. Masuknya unsur sara’ dalam pangngadereng, misalnya, merupakan bagian yang cukup penting dalam perubahan sistem sosial kultural di masyarakat Sulawesi Selatan.
Pada periode ini, keberadaan seorang pemimpin yang masih dianggap sebagai keturunan dewa dan atau maddaratakkuq (berdarah putih/suci) semakin tergeser. Walau demikian, pemahaman masyarakat kuno periode Galigo dan lontara’ tentang pemimpin yang karismatik (mempunyai titisan dewa) masih nampak, hingga berakhirnya masa kerajaan.
***
Dalam banyak manuskrip tradisional (lontara’), konsepsi kepemimpinan tradisional di Sulawesi Selatan diuraikan dengan cukup jelas. Paseng yang termaktub di awal tulisan ini adalah salah satu contohnya. Paseng tersebut merupakan sebagian nasehat yang diucapkan To Ciung Maccae ri Luwu (penasehat Datu Luwu, Dewaraja Datu Kalali yang memiliki pengetahuan luas, utamanya dalam hal pemerintahan), sekitar abad ke 15, kepada La Manussa To Akkaranggeng, calon Datu Soppeng Sonrongpole. Sebelum menduduki tahta kerajaan di Soppeng, La Manussa diperintahkan oleh ayahnya untuk berguru pada To Ciung Maccae ri Luwu mengenai ilmu, etika dan moralitas dalam kepemimpinan (pemerintahan).
Apa yang diucapkan oleh To Ciung Maccae ri Luwu kepada La Manussa To Akkaranggeng, seperti yang termaktub di awal tulisan ini, dalam realitas sosial politik masyarakat Sulawesi Selatan telah memberikan sedikit gambaran betapa dialektika dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada masa lalu –utamanya dalam pengambilan keputusan oleh penguasa— utamanya setelah periode Galigo, berakhir pada keputusan orang banyak (rakyat). Suara rakyat dalam sistem politik masyarakat di Sulawesi Selatan merupakan penentu terakhir dari segala keputusan yang akan diambil oleh pemerintah (kerajaan). Suara rakyat menjadi sesuatu yang sangat penting dalam dialektika politik di masyarakat Sulawesi Selatan.
Gambaran sosial politik masyarakat Sulawesi Selatan pada masa kerajaan tersebut, cukup unik dan agak beda dengan konsep pemerintahan kerajaan di daerah-daerah lain. Sistem pemerintahan kerajaan di Sulawesi Selatan jelas tidak begitu absolut dan otoriter seperti halnya dengan sistem kerajaan lainnya.
Penyelenggaraan pemerintahannya malah bisa dianggap bersifat demokratis, yakni raja tidak mesti turun-temurun/anak raja sebelumnya (meski seorang raja masih harus keturunan bangsawan tinggi dan dipilih langsung oleh dewan adat, tapi dipilih dan diberhentikan oleh semacam Majelis Perwakilan/Permusyawaratan Rakyat. Prinsip-prinsip kerakyatan dalam kekuasaan ini dalam masyarakat Bugis dikenal dengan istilahmangelle’ pasang, yakni kekuasaan itu diibaratkan dengan air pasang yang naik ke pantai; suatu simbolisasi tentang kekuasaan yang berasal dari rakyat dan diserahkan kepada pemerintah agar dilaksanakan untuk kepentingan (keadilan, ketentraman dan kesejahteraan) rakyat. Di sinilah letak keunikannya dibanding dengan sistem pemerintahan tradisionil lainnya, dan telah dipraktekkan selama ratusan tahun.
Jika ditarik dalam konsep bernegara saat ini, konsep ini bisa diidentikkan dengan konsep demokrasi yang diterapkan dalam pemerintahan masa Yunani Kuno. Dalam konsep Yunani Kuno sebelum terbentuknya pemerintahan Athena yang demokratis, raja juga dianggap sebagai keturunan Dewa.
Konsep demokrasi pada masa Yunani Kuno memang berhasil tumbuh dan berkembang hingga kini. Konsep ini bahkan telah menjadi mainstream pola pemerintahan yang diterapkan di hampir seluruh dunia. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History dan The Last Man, malah menulis bahwa dalam persoalan ideologi politik, masyarakat dunia telah sampai pada satu titik tertentu dan ideologi demokrasi telah menjadi pemenangnya.
Konsep demokrasi yang dicetuskan beberapa abad yang lalu itu, tidak dapat dipungkiri –meski tak seluruhnya– telah menjadi cita-cita masyarakat dunia hingga awal abad 21 ini. Kemenangan ideologi demokrasi dalam pertarungan ideologi ini menurut Fukuyama telah melalui proses dialektika yang cukup panjang.
Dasar pemikiran Fukuyama ini berlatar pada pemikiran Filsafat Sejarah Hegel yang berpandangan bahwa sejarah adalah sebuah proses yang rasional karenanya itu bersifat universal. Dalam proses ini, menurut Hegel, arah sejarah menuju pada satu titik tertentu dan untuk mencapai titik tertentu tersebut terjadi dialektika di dalamnya. Berdasar salah satu pandangan inilah, Fukuyama menarik sebuah kesimpulan –paling tidak sampai awal abad 21— bahwa dalam proses menuju titik tertentu tersebut dan melalui proses dialektika yang cukup panjang, ideologi demokrasi telah menjadi mainstream dari semua ideologi politik yang ada di dunia.
Dalam banyak kasus, pertarungan ideologi politik dari zaman ke zaman ini memang telah melahirkan sebuah ideologi politik yang menjadi acuan di hampir semua sistem pemerintahan di dunia, baik itu melalui “pemaksaan” maupun PEMAKSAAN. Ideologi demokrasi telah dianggap sebagai panglima dari semua ideologi politik yang ada di dunia. Karenanya, dengan berbagai cara paradigma masyarakat dicekoki agar dapat menerima dan menganggap sistem demokrasi merupakan satu-satunya ideologi politik yang paling baik dan harus diterapkan di seluruh sistem pemerintahan di seluruh dunia, demikian pula di Indonesia.
Di Sulawesi Selatan sendiri, ideologi politik mungkin belum dirumuskan sebagai sebuah ilmu pengetahuan dengan segala macam tetek-bengek metodologinya. Namun dalam konsep kepemimpinan, masyarakat Sulawesi Selatan telah menerapkan sebuah sistem (kedaulatan rakyat) yang mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dengan lebih menitik-beratkan pada aspek etika dan moralitas kepemimpinan dalam pemerintahan.
Berlandas berbagai tata nilai kepemimpinan (pemerintahan) yang menitik-beratkan pada etika dan moralitas politik, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pun membangun sistem pemerintahannya. Sistem kepemimpinan yang diterapkan dalam kehidupan bernegara masyarakat Sulawesi Selatan yang lebih menitik-beratkan pada aspek etika dan moralitas politik seorang pemimpin –sejak masa Galigo terlebih setelah masuknya Islam– inilah yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin dengan kualitas moral yang baikDalam berbagai manuskrip tentang kepemimpinan di Sulawesi Selatan, unsur etika dan moralitas kepemimpinan memang merupakan tolak ukur utama dalam menjalankan roda kekuasaan bagi seorang pemimpin. Hal ini, misalnya dapat dilihat dari beberapa pesan To Ciung Maccae ri Luwu kepada La Manussa To Akkaranggeng, calon Datu Soppeng Sonrongpole, sebelum menduduki tahta kerajaan di Soppeng:
“Lima hal yang menyebabkan seorang raja tetap tenang dalam kerajaannya. Pertama, jujur ia terhadap dewata serta kepada sesamanya raja, terhadap negeri tetangganya, serta kepada rakyatnya. Ia juga jujur terhadap dirinya dan kepada isi rumahnya. Jujur pula ia kepada semua yang dilihat mata serta yang didengar telinga. Sebab, yang dikatakan sebenarnya jujur, hanyalah mereka yang jujur kepada semua yang tersebut tadi.”
Kedua, apa saja yang hendak dilakukan oleh seorang raja, atau mau ia katakan, dilihatnya yang ada di depannya dan ia memperkirakan apa yang ada di belakangnya. Dipertimbangkannya pula kepada para hakim dan kepada rakyatnya dan menanyai sikap jiwanya. Hal itu dia kerjakan atau ia katakan jika telah disepakati oleh mereka yang mengetahui nasehat yang berujung kebaikan. Sebab, keburukan yang baik adalah yang disepakati. Dan kebaikan yang buruk ialah yang tidak disepakati. Persahabatan yang baik ialah yang tidak saling menyesali dan tidak saling menggerutui.
Ketiga, mudah ia membantu orang dalam suka dan duka menurut wajarnya. Mudah ia menyapa serta memberi nasehat menurut patutnya. Mudah ia memberi kepada hambanya (rakyatnya), serta sangat pengasih dan penyayang ia, lagi selalu memberi makan dan minum siang dan malam. Orang yang sungguh-sungguh pemurah, ialah mereka yang menyenangi perbuatan yang tersebut itu.
Keempat, teguh pendiriannya. Artinya, ia tidak meninggalkan janji. Ia juga teguh memegang ikrar (antar negara) dan tidak akan mementahkan keputusan hakim. Ia teguh pada batas-batas yang sudah ditentukan, tidak melebih-lebihkan perbuatannya, dan tidak menguranginya. Ia teguh juga untuk tidak melebih-lebihkan perkataannya, atau pun menguranginya. Ia juga tidak akan melebih-lebihkan penglihatannya daripada apa yang sudah dilihatnya. Demikian juga pendengarannya serta pengetahuannya daripada apa yang telah diketahuinya. Orang yang teguh memegang apa yang sudah disebutkan tadi, itulah orang yang sungguh-sungguh pendiriannya.
Kelima, raja itu harus berani. Adapun orang yang berani, berani melakukan pekerjaan baik dalam kesulitan maupun dalam hal yang tidak sulit menurut patutnya. Berani ia mengucapkan perkataan yang keras maupun yang lemah lembut menurut wajarnya. Berani ia memutus perkara yang sulit maupun yang mudah sesuai dengan kebenaran. Berani ia mengingatkan serta menasehati para pembesar maupun kepada orang awam sesuai dengan kemampuannya. Berani juga ia berjanji dengan sesamanya raja atau negeri, baik menyangkut kebaikan maupun keburukan menurut wajarnya. Berani ia melihat yang luas maupun yang sempit, yang tinggi maupun yang rendah, yang besar maupun yang kecil, yang menyenangkan maupun yang susah, sampai yang sepatutnya dilihat oleh mata. Berani ia mendengar perkataan yang jelek maupun yang baik, suara yang keras maupun yang lembut, jauh maupun dekat. Jika seseorang berani terhadap semua yang sudah disebutkan itu, ia itulah raja yang panjang umur dan banyak anak. Berkembang rakyatnya, berbiak ternaknya, subur pohon buah-buahannya. Padi selalu menjadi. Tidak ditimpa bencana negerinya. Tidak curiga raja tetangganya. Ia disegani oleh negeri tetangganya serta dipatuhi oleh rakyatnya. Raja yang seperti itu pulalah kaya dan selalu menang dalam perang. Bertambah terus kerajaannya. Bertambah juga kebesarannya. Dipuji oleh semua orang, tersohor barat, timur, utara dan selatan. Berita kebaikannya sampai kepada anak cucunya.”
Apa yang diungkapkan To Ciung tersebut, merupakan unsur penting yang harus dipegang oleh seorang pemimpin (raja) dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Bahkan secara keseluruhan, To Ciung melihat bahwa kebaikan sebuah negeri juga harus didukung oleh seluruh alat negara dalam lingkup pemerintahan. Sebab selain seorang pemimpin (raja), para alat negara (aparat pemerintahan) juga memiliki peran penting dalam membangun sebuah negara menjadi lebih baik. Sehingga aspek etika dan moralitas aparat negara juga harus diperhatikan.
Dalam realitas bernegara di Indonesia, tidak sedikit kasus yang dapat ditemui yang menunjukkan bagaimana bobroknya alat negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Mereka yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, malah lebih suka dilayani dan tak henti-hentinya membodohi rakyat. Kasus pungutan liar atau menggejalanya kecenderungan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang banyak tersebar di semua instansi merupakan realitas yang tak dapat dipungkiri terjadi di negara ini. Bahkan saking bobroknya etika dan moral para aparat negara, instansi yang seharusnya mengurusi moral rakyat pun melakukan hal yang sama. Departemen Agama atau Departemen Pendidikan, misalnya, merupakan departemen yang menduduki peringkat teratas dari kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Kondisi ini akan menjadikan negara, utamanya rakyat kehilangan jati diri dan disadari atau tidak akan mengalami disorientasi nilai etika dan moralitas. Karena itulah, tidak salah jika To Ciung juga mewanti-wanti keberadaan para aparat negara dalam menjalankan pemerintahan. To Ciung mengatakan:
“…Tidak sembarang orang yang dijadikan alat negara. Seseorang dapat dijadikan alat negara, jika ia memiliki empat hal. Pertama, ia jujur. Kedua, ia berpikiran panjang. Ketiga, ia kaya. Keempat, ia pemberani.
Adapun tanda orang yang jujur (1), pertama orang yang bersalah padanya, tetapi dimaafkannya. Kedua, ia percaya dan tidak mengkhianati. Ketiga, tidak serakah terhadap yang bukan haknya. Keempat, tidak dituntutnya suatu kebaikan jika hanya dia yang menikmatinya.
Adapun tandanya orang yang berpikir panjang (2), ada empat pula jenisnya. Pertama, ia menyukai perilaku yang benar. Kedua, ia menyukai perkataan yang benar. Ketiga, jika menghadapi semak belukar ia kembali. Keempat, jika ia melalui jalan, ia hati-hati.
Adapun tanda orang yang kaya (3), empat pula jenisnya. Pertama, ia kaya perkataan. Kedua, ia kaya pikiran. Ketiga, ia kaya pekerjaan. Keempat, ia kaya belanja.
Adapun tandanya orang yang berani (4), empat pula jenisnya. Pertama, tiada gentar ia menerima perkataan jelek dan perkataan yang baik. Kedua, ia tidak mendengar berita tetapi didengarkannya juga. Ketiga, tak takut ditempatkan di depan atau di belakang. Keempat tak takut ia menghadapi lawan.”
Konsep kepemimpinan yang berlandas pada etika dan moralitas ini dalam realitas pola kepemimpinan sekarang tidak lagi menjadi tolak ukur dalam memilih seorang pemimpin. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan untuk memisahkan moralitas (agama) dari konsep kepemimpinan. Dalam nasehat To Ciung kepada La Baso’ To Akkarangeng tentang hal-hal yang dapat memperbaiki kerajaan, dapat dilihat sebuah konsep bernegara yang seharusnya diwujudkan untuk memperbaiki negeri.
Berkata La Baso’ To Akkarangeng: “Apa yang memperbaiki kerajaan, Nenek?”
Berkata To Maccaé ri Luwu: “Delapan jenisnya. Pertama, kita harus jujur. Kedua, kita harus berkata benar. Ketiga, kita harus teguh pendirian. Keempat, kita harus mawas diri.Kelima, kita harus bermurah hati. Keenam, kita harus peramah. Ketujuh, kita berani.Kedelapan, harus tidak pilih kasih.
Adapun yang disebut jujur, dirinya dijadikan ukuran. Adapun yang disebut berkata benar, tidak keluar perkataan bohong dari mulutnya. Adapun yang disebut teguh pendirian tidak akan ia meninggalkan janji. Adapun yang disebut mawas diri, tidak terpejam matanya dalam berpikir dan mencarikan kebaikan untuk negerinya. Adapun yang disebut murah hati, ia menjamu siang dan malam. Adapun yang disebut peramah, berutang-piutang tetapi tidak marah bila diingatkan. Adapun yang disebut pemberani, tidak dibedakannya kematian dengan kehidupan. Adapun yang disebut tidak pilih kasih, dianggapnya sama saja ada tidaknya….”
Begitu banyaknya konsep kepemimpinan dalam manuskrip-manuskrip tua (lontara’) yang ada di Sulawesi Selatan, hampir semuanya menitik beratkan pada aspek etika dan moralitas yang harus menjadi pedoman bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Dalam pandangan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan, baik buruknya (berberkahnya) sebuah negeri tergantung dari baik buruknya moralitas pemimpinnya.
Jika konsep demokrasi Yunani bisa survive hingga sekarang, mengapa konsep pemerintahan di Sulawesi Selatan yang lebih menitik-beratkan pada aspek etika dan moralitas (pribadi sang pemimpin dan bukan hanya sistem) tidak mampu tumbuh dengan baik. Apakah karena selama ini sistem nilai yang dianut hanya menjadi milik kultur lain dengan menafikan sistem nilai yang ada di masyarakat Sulawesi Selatan sendiri? Ataukah memang sistem nilai yang ada di masyarakat Sulawesi Selatan telah lama hilang dan hanya menjadi benda mati dan tergeletak dalam kitab-kitab tua?
Transformasi nilai-nilai dan ajaran kepemimpinan kuno dalam kehidupan bernegara hanya mampu hadir sebagai wacana, dan akan hilang dengan sendirinya seiring dengan semakin derasnya sistem nilai yang datang dari luar. Berbagai konsep kepemimpinan yang dianut di Indonesia telah memarginalkan sistem nilai dan ajaran-ajaran kepemimpinan dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Karenanya, upaya untuk melakukan transformasi nilai-nilai kultural tersebut merupakan sebuah kerja keras. Meski demikian, upaya ini seharusnya dilakukan melihat realitas nilai-nilai kultural kepemimpinan di Sulawesi Selatan yang semakin kehilangan ruh. Nilai-nilai etika dan moralitas yang ditawarkan dalam berbagai konsep kepemimpinan, sepertinya hanya merupakan lip service yang berujung pada kegagalan dogmatis.
Membangun kesamaan perspektif (yang akan diejawantahkan dalam berbagai dimensi kehidupan), akan nilai-nilai etika dan moralitas dalam kepemimpinan kuno yang tergeletak dalam kitab-kitab tua (lontara’), merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk membangun dan mengembalikan nilai-nilai siri’ yang menjadi ruh dari segala tindakan manusia Sulawesi Selatan.
Siri’ emmitu ri onroang ri lino,
Utettong ri ade’e
Najagainnami siri’na
Naia siri’e sunge’ naranreng,
Nyawa nakira-kira
(Hanya untuk siri’ kita hidup di dunia
Aku setia pada ade’
Karena dijaganya siri’ kita
Adapun siri’, jiwa ganjarannya
Nyawa taruhannya)
Siri’ emmitu riaseng tau
Narekko de’i siri’ta, taniaki tau, rupa tau mani’ asenna
(Hanya karena siri’ kita disebut manusia
Jika tidak memiliki siri’, kita bukan manusia, tapi hanya menyerupai manusia)
0 komentar:
Posting Komentar